Social Icons

Pages

Jumat, 24 Februari 2012

Revolusi Tiga Daerah dan Hirarki Jawa


Hengkangnya Belanda dari Indonesia dengan jejak yang belum menghilang selama 350 tahun, datanglah Jepang yang menorehkan sejarah di bumi pertiwi selama 2,5 tahun. Proses pergi penjajah tidak berjalan tanpa bekas, peristiwa-peristiwa mewarnai jalannya proses  perjuangan di kota besar baik Jakarta, Medan, Surabaya serta Semarang. Haru pilu di sudut-sudut kota lain seperti di Pantura pulau Jawa juga terjadi. Pergerakan, perjuangan, dan pergolakan tetap di gencarkan khususnya pasca proklamasi kemerdekaan 1945 di Rengasdengklok oleh Soekarno di tiga daerah Karisidenan Pekalongan yakni Brebes, Tegal, dan Pemalang.
Pada tiga daerah tersebut rupa-rupanya terjadi perbedaan pendapat yang besar, baik sesama pejabat pemerintah maupun pemerintah dengan rakyat. Yaitu tentang penurunan bendera Jepang digantikan bendera merah putih di pusat-pusat pemerintahan. Proklamasi sudah dilakukan oleh pemerintah pusat tetapi harus di ketahui bahwa tentara Jepang serta pejabat pribumi yang pro dengan Jepang (karena berbagai alasan) enggan menaikkan bendera merah putih. Bagi kaum revolusioner sikap ini merupakan bentuk penghianatan yang akhirnya di beberapa lokasi di tiga daerah tersebut muncul berbagai huru-hara baik terhadap Pangreh Praja, warga keturunan, ataupun lurah dengan aksi merusak, merampok, sampai membunuh yang dilakukan oleh sebagian kaum revolusioner radikal.
Kaum revoluisioner bukan hanya dari golongan kiri tetapi ada yang berasal dari golongan agama. Mereka mengusir sisa tentara Jepang dan membersihkan pengaruh penjajahan Jepang di Karisidenan Pekalongan serta mengganti pemimpin maupun pangreh praja yang telah berhianat.
Peristiwa tiga daerah yakni Brebes, Tegal, dan Pemalang merambah ke isu lain yakni tentang pelarangan menggunakan gelar bangsawan seperti  paduka, abdi, Raden Mas maupun Ndoro diganti Bung, Saudara, dan Bapak.  Begitu juga dengan usulan penghapusan  bahasa Jawa Krama diganti bahasa Jawa Ngoko oleh gerakan Jawa Dipo yang didukung oleh Cipto Mangunkusumo tokoh radikal lulusan barat yang sempat menyatakan bahwa “bahasa Jawa adalah bahasa budak dan mengahambat kemajuan”. Kaum revolusionis radikal  cenderung  terlalu instan untuk mencoba merubah sistem yang ada, dengan alasan pembelaan terhadap rakyat kecil yang sering menjadi korban dari sistem hirarki sosial tersebut.
Agaknya kurang bijak jika membicarakan sejarah dalam selembar kertas yang tentunya tidak bisa memberikan kegamblangan lebih jelas. Salah satu kasus peristiwa revolusi tiga daerah adalah menyangkut sistem budaya Jawa, pada proses kejadian dan pasca kejadian telah merenggut banyak korban baik manusia maupun sistem budaya yang melekat di tiga daerah eks Karisidenan Pekalongan.  Sesungguhnya peristiwa sejarah tiga daerah ini  sepatutunya menjadi bahan refleksi bagi kita untuk mampu memilah dan memilih nilai-nilai kebudayaan di sekitar kita. Melihat dengan cara yang bijaksana tanpa merendahkan derajat sesama manusia sehingga tercipta keharmonisan diantara pelaku budaya dan tentunya tidak menggunakan simbol budaya untuk melegitimasi diri dalam rangka melakukan kezaliman terhadap rakyat.

Kamis, 16 Februari 2012

Nama sebagai Identitas Sosial Orang Jawa

Ilustrasi dari  ikadanewsonline.com
 

Nama bagi orang Jawa, tidaklah sembarangan. Sejak orangtua akan memberikan nama kepada anaknya, orangtua akan menjalani proses panjang sebelum menemukan nama yang cocok. Biasanya orangtua sudah memikirkan nama anaknya sebelum anak tersebut dilahirkan. Namun banyak orangtua yang baru menemukan nama setelah anaknya lahir mengingat banyaknya nama yang ditentukan berdasarkan hari kelahiran. Oleh karena itu, cara masyarakat jawa memberikan nama kepada anaknya dapat digolongkan menjadi dua macam yakni :
  • Direncanakan, yaitu pemberian nama dipikirkan sejak bayi belum lahir. Nama direncanakan orangtua secara matang. Nama yang sudah direncanakan itu berkemungkinan didapat dari pengalaman hidup orangtua keinginan atau cita-cita orangtua sejak lama, atau bisa saja ‘pesanan’ dari keluarga. Nama pesanan adalah nama yang diberikan bukan oleh orangtuanya, melainkan dari orang yang diserahkan oleh orangtua karena orang tersebut dihormati misalnya diberikan oleh Mbah si anak. Tradisi pemberian nama dengan perencanaan saat ini semakin berkembang dan paling sering digunakan.
  • Tidak direncanakan, yaitu nama diberikan ketika anak telah lahir. Biasanya orangtua menunggu tanda-tanda alam atau ilham hingga menemukan nama yang cocok bagi anaknya.  Pada hari kelahiran anak misalnya, banyak dukun bayi yang memberikan nama tertentu bagi anak yang berhasil dalam proses persalinannya. Orangtua mengiyakan saja apa yang diujarkan dukun bayi. Para orangtua yakin bahwa setiap dukun bayi adalah orang yang memiliki kekuatan tertentu yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat, sehingga orangtua percaya dan menerima nama pemberian sang dukun.

Ruwatan adalah salah satu bukti pentingnya nama bagi masyarakat Jawa. Ruwatan adalah upacara penggantian nama anak. Upacara ini dilakukan ketika nama seorang anak dianggap berat. Istilah keberatan nama muncul apabila anak mengalami sakit, mengalami kesusahan, dan situasi lain yang menyebabkan hidup anak dalam penderitaan. Orang jawa percaya bahwa kondisi yang demikian itu disebabkan ketidakcocokan nama bagi anaknya. Nama dianggap terlalu berat dan mengganggu stabilitas kehidupan seorang anak.  Upacara ruwatan menjadi solusi permasalahan itu. Melalui upacara ruwatan, diharapkan kehidupan anak menjadi lebih stabil sehingga anak tidak sakit-sakitan lagi. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa nama ternyata memiliki arti penting dalam tradisi masyarakat jawa.

    • Nama berarti harapan dan doa
Nama memiliki banyak arti, yang paling dominan dalam tradisi orang Jawa bahwa nama berarti harapan dan doa. Oleh karena itu, nama pada umumnya mencermikan arti kata yang positif. Hampir tidak pernah terjadi orangtua memberikan nama dengan istilah yang kurang baik. Berbeda dengan julukan. Julukan masih sering digunakan dengan julukan-julukan jelek, sesuai karakter seseorang. Sedangkan nama merupakan cita-cita orangtua kepada anak. Banyak nama yang mengandung makna baik diantaranya Ayu berarti cantik, Bagus berarti tampan, Beja berarti beruntung, Sugih berarti kaya, Harta yang berarti uang, dan sebagainya.

    • Wayang dalam Tradisi Penamaan Anak
Wayang merupakan permainan pertunjukan yang populer ditanah Jawa. Tidak hanya sebagai tontonan semata, wayang berisi tuntunan yang mendidik masyarakat. Permainan wayang berangkat dari mahakarya sastra besar Ramayana dan Mahabarata yang sarat dengan ajaran-ajaran kebaikan. Ajaran-ajaran itulah yang kemudian disampaikan dalam pertunjukan wayang. Wayang memiliki tempat tersendiri dalam masyarakat Jawa. Wayang menjadi ikon, contoh, tuladha dalam kehidupan. Oleh karena itu, banyak masyarakat Jawa yang mengadopsi nama wayang untuk dijadikan sebagai nama anaknya. Melalui nama wayang tersebut diharapkan seorang anak kelak akan menjadi tokoh yang berkarakter seperti wayang yang dimaksud. 
Memang tidak semua tokoh wayang dijadikan nama anak. Hanya tokoh-tokoh wayang yang bernilai positif yang kerap dijadikan nama anak. Gagah, tampan, berani, jagoan, bijaksana, welas asih adalah beberapa sikap yang merupakan sikap ksatriya tokoh wayang. Tokoh Pandawa adalah tokoh wayang yang menjadi panutan teratas. Banyak nama orang yang diambil dari tokoh Pandawa seperti Bima, Dananjaya, Arjuna, Yudhistira, dan masih banyak lagi nama lain dari tokoh Pandawa yang dijadikan nama anak. Selain dari tokoh Pandawa, banyak tokoh-tokoh wayang lainnya seperti Dewi Sinta, Dewi Kunthi, Saraswati, Karna, Abimanyu, Wibisana dan lain-lain. Artinya, wayang adalah konsep kepercayaan yang menjadi kekuatan bagi setiap namanya.

    • Nama dan Identitas Sosial Masyarakat Jawa
Nama rakyat biasa tentu berbeda dengan nama bangsawan Jawa. Keturunan raja-raja Jawa akan diberikan gelar kebangsawanan. Pemberian gelar tersebut akan membedakan antara rakyat biasa dan bangsawan. Konsep ini diangkat dari konsep kasta dalam agama Hindu. Raja dan para keturunan serta abdi dalem masuk kedalam kasta Ksatriya yang merupakan kasta kedua diatas setelah Brahmana . Sistem kekastaan itu kemudian berubah setelah islam masuk. Namun tetap saja terdapat kelas sosial dalam masyarakat Jawa yakni :
  • Raja, yakni Penguasa kerajaan termasuk keturunannya
  • Priyayi, golongan menengah yang menjembatani antara Raja dan Kawula, abdi raja, kaum terpelajar. Priyayi termasuk golongan terhormat.
  • Kawula (Wong Cilik), golongan rendahan yang dianggap kurang terpelajar, raakyat biasa.
Dalam kelas Raja atau bangsawan, setiap keturunaannya diberikan gelar-gelar identitasnyaa sebagai bangsawan. Berikut beberapa rumusan gelar kebangsawanan di Nagari Gung, Surakarta dan Yogyakarta :

Singkatan
Gelar
K.
Kanjeng
G.
Gusti
R.
Raden, Rara
P.
Pangeran, Panji
A.
Adipati, Arya, Ajeng
Ay.
Ayu
M.
Mas
Ng.
Ngabehi
B.
Bendara, Bagus
H
Harya
T
Tumenggung
Ngt
Nganten


Tabel 1 : Daftar Singkatan Rumusan Gelar Bangsawan Jawa


Dari rumusan tabel diatas, kita dapat mengetahui singkatan gelar bangsawan Jawa. Selain Gelaar Raden, gelar-gelar tersebut umumnya tidak berdiri sendiri misalnya KGPAA Mangkunegara, Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara. 

Setiap relasi gelar tersebut memiliki kedudukan silsilah dalam keraton yang berbeda. Selain itu gelar bias berganti berdasarkan umur atau naik tahta. Misalnya Anak laki-laki dari selir ketika masih muda bergelar Bendara Raden Mas (BRP), tapi ketika besar berganti menjadi Bendara Kanjeng Pangeran (BKP). Putra mahkota raja akan bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anum Amangku Negara Sudibya Rajaputra Nalendra ing Mataram, namun ketika naik tahta, gelarnya menjadi Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping ... (Kesultanan Yogyakarta).

    • Nama dan Kebudayaan Masyarakat Jawa Masa Kini
Kebudayaan bersifat dinamis, artinya terus mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan dari waktu ke waktu. Beda dulu, beda sekarang. Itulah fakta yang tidak bisa ditolak. Tradisi penamaan budaya Jawa telah bergeser dari pola awalnya. Jawa sing wis ora jawa semakin banyak. Mengaku orang jawa tapi tidak bangga dengan budaya Jawa itu sendiri. Malu menggunakan nama gelar adalah salah satu contoh bukti nyata pergesaran budaya. Saat ini tidak banyak orang yang bangga menggunakan gelar kebangsawanannya terutama di daerah non-Jawa seperti di Jakarta karena berbagai hal. Gelar kebangsawanan dianggap terlalu membawa-bawa feodalisme. Di era demokrasi sekarang ini, feodalisme telah menjadi sesuatu yang bertolak belakang dari asas demokrasi dan dianggap sebagai bentuk yang tidak sepadan lagi dengan jaman. Segala atribut-atribut yang berbau feodalisme dihilangkan termasuk juga gelar kebangsawanan. Tidak digunakannya gelar dalam sistem penamaan oleh beberapa orang keturunan raja dengan berbesar hati bertujuan menghormati orang yang non-gelar. Suatu upaya untuk mensejajarkan setiap orang tanpa tingkat-tingkat sosial. Hanya saja memang gelar-gelar tersebut dihilangkan hanya gelar kecil seperti Raden saja. Selain itu, gelar acap kali hanya mencemarkan nama keluarga bangsawan. Apabila orang yang memiliki gelar berperilaku buruk maka yang dicap jelek adalah keluarganya. Demi menghindari hal itu, gelar sengaja tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
    • Kesimpulan
Nama memiliki arti penting dalam kehidupan orang Jawa. Makna nama berarti harapan, doa, serta identitas sosial. Tradisi penamaan turut dipengaruhi unsur wayang yang telah menjadi kepercayaan masyarakat Jawa. Budaya Jawa juga mengenal sistem penamaan berdasarkan status sosial. Bangsawan memiliki gelar tersendiri sebagai pembeda antara bangsawan dan rakyat biasa. Sayangnya, tradisi penggunaan gelar mulai menurun di masyarakat Jawa.



Daftar Pustaka

Kuntjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
Kuntjaraningrat.1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta. Balai Pustaka
Sedyawati, Edi. 2003. Budaya Jawa dan Masyarakat Modern. Jakarta BPPT
Sedyawati, Edi. 1996. Karakter Tokoh Pewayangan Mahabrata  Seri II.Jakarta : Depdikbud RI


Referensi Internet
http://www.tembi.org/perpus/2008_10_06.htm

Rabu, 15 Februari 2012

Eksistensi Industri Jamu Rumahan Desa Nguter


Nilai-Nilai Kebudayaan Jamu Rumahan Desa Nguter
Oleh : Nurani Dewi, Nurindah Wuriani, Patrisia Devitasari, Rizky Ramadhani

Perawakan Pak Slamet hari itu nampak masih gagah meskipun umurnya sudah berkepala enam. Rumahnya terlihat cukup besar diantara tetangganya. Perlengkapan isi rumahnyapun tergolong modern,  jauh dari kesan ndesa. Dua buah mobil yang terparkir di halaman depan rumahnya cukup menggambarkan keadaan ekonomi Pak Slamet saat ini. Di halaman rumahnya, terlihat beberapa bahan baku pembuatan jamu yang sedang dijemur. Pak Slamet Riyadi adalah salah satu pengusaha jamu dari Desa Nguter, yang terbilang cukup sukses membawahi usaha jamu rumahan merek Kresna. Pada mulanya, usaha jamu rumahan milik keluarga Pak Slamet  dimulai dengan skala kecil oleh pendahulunya kemudian baru diwariskan kepada beliau. Seiring berjalannya waktu, usaha jamu rumahan milik keluarganya berkembang hingga membawa Pak Slamet menjadi salah satu pengusaha jamu yang terbilang cukup sukses.  Kesuksesannya yang kini diikuti oleh para tetangganya merupakan proses panjang hasil keuletan selama ini mengurus usaha jamu rumahan.

Desa Nguter di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah  merupakan salah satu desa yang memiiliki beberapa rumah produksi jamu serta sentra distribusi jamu rumahan. Usaha produksi jamu rumahan di desa nguter pada mulanya dipelopori oleh beberapa rumah produksi. Diantara rumah produksi tersebut, yang  paling terkenal antaralain Sabdopalon, Joglo, Wisnu, dan Kresna. Usaha jamu rumahan di Desa Nguter dimulai sekitar tahun 1965, kemudian berkembang pada tahun 1977 seiring terbentuknya wadah Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI) di Sukoharjo. Meskipun Desa Nguter merupakan salah satu desa sentra produksi jamu, hanya segelintir orang saja yang menggeluti usaha produksi jamu. Kebanyakan dari masyarakat lebih memilih menjadi distributor hasil produksi jamu rumahan besar saja, dengan membuka toko skala kecil. Toko-toko tersebut dapat dijumpai di Pasar Nguter, sentra distribusi jamu rumahan desa Nguter. 

Salah satu produk usaha jamu Sabdo Palon dari Nguter

Meskipun usaha jamu di Desa Nguter tergolong stabil, bukan berarti tanpa ancaman. Serangan obat-obatan moderen, serta maraknya jamu dengan kandungan berbahaya, menjadi ancaman terbesar para pengusaha jamu saat ini. Tidak hanya itu,  ketersediaan bahan baku jamu juga kerap menjadi kendala utama terhambatnya proses produksi jamu. Bahan baku yang saat ini makin sedikit jumlahnya di pasaran, seiring berkurangnya lahan tanam dan perubahan musim menjadi penyebab terhambatnya pasokan bahan baku produksi. Dalam kondisi yang serba sulit ini, para pengusaha jamu dituntut untuk mampu menyiasatinya. Bertahan dan berkembangnya usaha jamu di Desa Nguter bukanlah tanpa alasan. Kemampuan bertahannya usaha jamu rumahan di Desa Nguter  ini ditopang oleh sikap jujur, pekerja keras, dan pantang menyerah para pengusahanya.
  • Nrima Ing Pandum
Menjadi pengusaha jamu berarti siap menghadapi segala resiko terburuk apapun terhadap usahanya. Jamu tidak laku merupakan resiko yang paling sering dihadapi oleh para pengusaha jamu. Tidak heran sering kali jamu yang tidak laku terjual, harus dibuang begitu saja. Jangankan untuk berharap mendapatkan untung, acap kali justru para pengusaha jamu ini harus menerima kerugian yang cukup besar.

Masalah seperti itu sudah biasa dihadapi oleh para pengusaha jamu. Hal semacam itu pantang dijadikan alasan untuk berhenti berusaha. Pak Slamet 67 tahun misalnya, tidak mau ambil pusing dengan masalah semacam itu. Menurut beliau, untung ruginya usaha jamu yang beliau jalani, sepenuhnya diserahkan kepada Yang Maha Kuasa. “Manusia itu tugasnya hanya berusaha semaksimal mungkin, lalu berdoa kepada Yang Maha Kuasa,” ujarnya sembari mengingatkan filosofi Jawa ‘nrima ing pandum’.
Nrima ing pandum secara tekstual berarti menerima segala sesuatu apa yang menjadi bagiannya. Menerima yang dimaksud bukan berarti menerima segala keadaan begitu saja, tetapi dengan kerja keras. Kerja keras dan pantang menyerah merupakan unsur dasar dalam sikap nrima. Apabila hasil kerja keras tidak seperti yang diharapkan, maka dengan besar hati manusia harus menerimanya. Kemudian diikuti sikap evaluasi diri, mengintrospeksi apa yang menjadi penyebab gagalnya suatu usaha. 

Sikap nrima belakangan ini sering disalahartikan. Banyak orang berpikir bahwa nrima merupakan sikap pasrah tanpa usaha. Hal ini jelas keliru. Terkait dengan usaha jamu, para pengrajin jamu justru menyadari bahwa nrima adalah sikap percaya terhadap kekuatan diluar manusia yang turut menentukan jalan kehidupan. Tentu kekuatan yang dimaksud adalah kehendak Tuhan.  Dengan adanya sikap nrima dalam diri seseorang, maka akan menumbuhkan sikap pantang menyerah, sabar, ikhlas, dan jujur. Sikap-sikap tersebut akan membentuk karakter manusia yang gigih dan kuat, seperti yang ditunjukan oleh para pengrajin jamu di Desa Nguter. Karakter demikianlah yang akan membawa usaha jamu di Nguter terus bertahan dan berkembang. 
  • Becik ketitik ala ketara
Dalam menjaga eksistensi usaha jamu ditengah ketatnya persaingan antar produsen, salah satu hal yang harus dijaga adalah kejujuran. Pepatah Jawa yang diterapkan dalam hal ini adalah becik ketitik ala ketara yang artinya ‘yang baik akan terlihat yang burukpun akan terlihat buruknya’. Kejujuran dalam konteks ini adalah kejujuran mengenai komposisi jamu yang diproduksi. Beberapa merk jamu, diduga tidak konsisten dalam mempertahankan racikan jamu mereka. Seperti contoh, penggantian gula asli dengan pemanis. Cara ini memang dapat menurunkan biaya produksi namun memberikan efek tidak nyaman pada tenggorokan pasca konsumsi. Jika pemanis buatan yang digunakan adalah jenis aspartam, mungkin masih aman dikonsumsi oleh konsumen karena aspartam tidak menimbulkan efek negatif selama penggunaannya sebagai pengganti gula. 

Menurut kepala laboratorium biokimia pangan dan gizi IPB Prof.Dr.ir. Made Astawan MS mengatakan asparatam merupakan pemanis rendah kalori dengan kemanisan kurang dari 200 kali kemanisan gula (sukrosa). Keunggulan asparatam yaitu mempunyai energi yang sangat rendah, mempunyai cita rasa manis mirip gula, dan dapat digunakan sebagai pemanis pada makanan atau minuman pada penderita diabetes. Namun pemanis buatan yang digunakan oleh produsen jamu adalah jenis yang standartnya dibawah aspartan dan dijual dengan harga lebih murah namun dengan kualitas yang jauh lebih rendah. Setelah meminum jamu dengan pemanis buatan seperti itu, biasanya muncul rasa seperti serik dan gatal pada tenggorokan. Pada penderita dengan tenggorokan sensitif bisa menimbulkan batuk dan sakit tenggorokan. Bila hal ini terjadi terus-menerus maka tidak menutup kemungkinan konsumen beralih pada merk lain yang mempertahankan rasa gula asli dalam racikan jamunya. 

Selain pemanis buatan, ada kasus lain yang patut untuk diwaspadai, yaitu desas-desus dicampurnya ramuan jamu beberapa merk dengan obat generik dengan dosis yang berlebihan. Sebagai contoh, untuk jamu pereda sakit kepala. Produsen yang tidak jujur mencampurkan obat sakit kepala buatan pabrik farmasi ke dalam jamu mereka. Obat semacam ini tentu lebih ampuh untuk menghilangkan sakit kepala sehingga jamu mereka pun lebih laku karena dianggap manjur menyembuhkan sakit kepala. Apalagi jika produsen memberikan dosis yang berlebihan pada satu bungkus jamu mereka. Misalnya, dosis normal sekali minum untuk obat sakit kepala adalah satu butir/ sekali minum. Untuk membuat jamu lebih manjur, produsen jamu meningkatkan dosis menjadi 150% -200%. Dengan kata lain, dalam satu bungkus jamu untuk sekali minum, telah dicampur 1 1/2 – 2 butir obat sakit kepala. Produsen yang curang tersebut semata-mata hanya memikirkan profit bagi usaha mereka namun tidak memikirkan efek jangka panjang yang mungkin diderita oleh konsumen. 

Produsen jamu Joglo di solo sendiri mengaku tetap memepertahankan nilai kejujuran karena itu merupakan aspek yang sangat penting. Selain itu kejujuran sangat ditekankan sejak generasi awal jamu Joglo. Mereka mengedepankan kepentingan konsumen sehingga tidak mencampurkan bahan-bahan yang berbahaya dalam jamu produksi mereka. Hal tersebut dapat dilihat dalam transparansi mereka dalam produksi jamu. Pihak mereka tidak menolak bagi pihak yang ingin melihat proses produksi jamu mereka. Berbeda dengan beberapa produsen yang cenderung tertutup dan menolak memberikan keterangan mengenai proses produksi jamu.
  • Sadumuk bathuk
Konsep Sedumuk Bathuk mempunyai makna yang sangat dalam. Sadumuk bathuk artinya selebar dahi. Meskipun hanya selebar dahi itu terdapat otak di mana kreasi, inovasi dan produksi manusia dikembangkan. Konsep ini digunakan oleh produsen jamu Joglo untuk menaikan pamor jamu, yaitu dengan melakukan sebuah kreativitas.
Kreativitas yang dilakukan berupa pembuatan berbagai macam jamu dengan khasiat yang baru. Penyakit jaman dulu denagna jaman sekarang sangatlah berbeda sehingga produsen Joglo membuat racikan jamu yang cocok dengan penyakit pada jaman sekarang seperti, jamu Sehat Wanita dan jamu untuk penyakit Diabetes.
Kretivitas tidak hanya melulu soal racikan dan khasiat jamu. Kemasan jamu Joglo juga mengalami perubahan. Sekarang kemasan jamu joglo lebih bagus dan rapi sehingga dapat menarik pelanggan jamu. Walaupun hal ini tidak terlalu mempengaruhi minat pembeli karena hal yang paling penting adalah khasiat dari jamu itu sendiri.
  • Mempertahankan tradisi
Usaha jamu yang bertahan sampai sekarang, tidak lain adalah warisan dari leluhur yang dilestarikan. Dengan mempertahankan tradisi, khasiat dan kualitas jamu dapat dipertahankan. Meskipun kreatifitas dan inovasi juga sangat dibutuhkan, namun ada hal-hal dari jamu ini yang tidak bisa ditinggalkan. Seperti contohnya racikan jamu yang sudah paten, sebaiknya tidak diubah-ubah agar khasiatnya tidak menurun.
  • Alon-alon waton klakon
Bisnis jamu bukan bisnis yang selalu lancar namun terkadang pasang surut mengikuti perkembangan zaman. Apalagi dizaman yang sedang musimnya obat herbal, maka produsen jamu pun harus bisa bersaing dengan obat – obatan modern. Tak sedikit produsen jamu yang gulung tikar karena tidak bisa bersaing dengan produk obat buatan pabrik farmasi lainnya. Obat modern yang sekarang banyak beredar dan resep dokter yang selalu memberikan obat membuat jamu kurang dipercaya lagi dimasyarakat, sehingga para produsen jamu perlu bersabar untuk mmproduksi jamu sekarang ini.
Selain itu dalam membuat jamu pun proses yang dilakukan cukup rumit. Dimulai dari pencarian bahan-bahn pokok yang sekarang sangat sulit ditemukan karena lahan untuk menanam bahan – bahan jamu sudah berkurang ditambah lagi musim dan cuaca yang turut menentukan kualitas bahan yang tak menentu.
    Empon-empon saat dijemur, salah satu bahan baku produksi jamu
  • Wani getih bakal merkulih
Seperti halnya membangun bisnis yang lain, membangun bisnis jamu juga membutuhkan sikap mental yang kuat. Salah satu sikap mental yang harus dimiliki adalah tidak mudah putus asa. Jika seseorang memegang prinsip wani getih bakal merkulih yang artinya ‘berani berdarah (berjuang dengan keras) akan mendapatkan hasil’ maka seseorang tidak mudah putus asa dalam berusaha. Dalam hal mengembangkan bisnis jamu tentunya muncul tantangan-tantangan yang harus dihadapi. Hambatan yang bisa menjadi masalah bagi produsen jamu diantaranya adalah:
  • Bahan baku yang kualitas-nya tidak bagus
  • Terbatasnya sinar matahari pada musim penghujan
  • Persaingan dengan produsen lain
Untuk mengatasi tantangan tersebut, seseorang tidak boleh putus asa dan harus selalu bekerja keras dan senantiasa mempertahankan prinsip wani getih bakal merkulih.

Menjadi produsen jamu tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Produsen jamu Joglo memakai konsep bahwa siapa yang berani berdarah akan mendapat. Orang yang berani mengadu nasib dalam arti mau bekerja keras dan bersungguh-sungguh dalam mengerjakan sesuatu pasti akan berhasil mendapatkan apa yang kita inginkan. Menjadi seorang produsen sangat diperlukan kerja keras dan ketelatenan . Kerja keras dan ketelatenan ini sangat diperlukan karena masalah yang dihadapi oleh produsen jamu cukup besar. Mulai dari bahan pokok yang sekarang sulit dicari, hal ini mengharuskan produsen jamu untuk lebih bekerja keras dalam mencari informasi dimanakah daerah yang masih memiliki bahan pokok jamu tersebut. Setelah menemukan daerah tersebut produsen harus meneliti apakah bahan tersebut termasuk dalam kualitas yang baik atau tidak. Jika kualitasnya kurang baik, produsen harus mencari daerah lain yang menghasilkan bahan pokok yang berkualitas baik karena bahan pokok sangat mempengaruhi khasiat jamu sendiri. Harga bahan pokok yang berkualitas baik juga relatif tinggi sehingga mengaharuskan produsen untuk menaikan harga jual jamu agar nantinya tidak sampai gulung tikar. Harga jamu yang naik ini membuat sebagian orang enggan untuk mengkonsumsi jamu lagi. 

Selain masalah bahan pokok, masalah karyawan juga sering menjadi kendala. Terkadang produsen merasa kelebihan karyawan namun terkadang merasa kekurangan karyawan saat pesanan dan penjualan menurun. Masalah yang paling besar yang dialami para produsen jamu saat ini adalah jamu mulai tergeser dengan obat-obatan produksi pabrik farmasi yang dipercaya memberikan efek lebih cepat. Produsen jamu berupaya untuk mensejajarkan jamu dengan obat-obatan modern. Upaya yang dilakukan tentu harus menggunakan cara yang benar. Tidak menggunakan cara curang seperti mancampurkan obat-obat generik dalam racikan jamu. Masalah pemasaran juga cukup rumit. 

Minggu, 12 Februari 2012

Edisi Cetak I-III

Ini adalah versi cetak kami.

Edisi I



 

Edisi II
 
Edisi III




Dari Pekalongan Sampai Papua


Siapa yang tidak tahu batik Papua? Saat ini banyak orang membicarakan tentang batik Papua yang penuh dengan motif indah. Lalu apa kaitan antara Pekalongan sebagai kota batik dengan Papua? Batik Papua merupakan salah satu batik yang dicari banyak orang karena banyaknya motif yang di tawarkan, terutama dalam hal alam dan budaya. Keanekaragaman luar biasa Papua telah di tuangkan dalam motif batik Papua atau lebih di kenal sebagai batik Port Numbay. Bagaimana sejarah singkat batik Papua atau Port Numbay ini? apakah sudah sejak dahulu batik Papua berada di tanah Papua sendiri, atau hanya sebuah inovasi sesorang? Judul pada tulisan ini, ingin memberitahukan bahwa Batik Papua merupakan bentuk inovasi budaya yang terjadi di Papua. Batik Port Numbay di perkenalkan oleh seseorang bernama Jimmy Handrick Afaar. Ia mulai belajar membatik di kota Pekalongan. Sampai saat ini, batik Papua masih menggunakan perangkat membatik dari Pekalongan karena pada dasarnya Batik Papua merupakan hal baru bagi warga Papua setidaknya dalam waktu lima tahun terakhir.

Pelajaran sangat berharga dapat kita lihat dari hubungan seni budaya antar dua etnis yang berbeda. Pekalongan merupakan etnis Jawa sebagai penghasil asli batik kemudian digabungkan dengan kebudayaan etnis Papua untuk menciptakan inovasi baru bernama batik Papua yang menghasilkan motif baru khas Papua. Melihat kelembutan batik Papua dengan motif keanekaragaman hayati maupun kondisi sosial dan budaya masyarakat di Papua seperti burung Cinderawasih, Kamoro (patung berdiri), dan Sentani tentu kita akan melupakan sejenak situasi konflik di Papua. Batik Papua turut menunjukkan eksistensi budaya Papua yang selama ini terkesan terasingkan. Adanya korelasi Pekalongan dan Papua menunjukkan satu ikatan kebangsaan yang kuat di Indonesia ditengah isu separatisme yang terkesan politis.

Rupa-rupanya seni-budaya menjadi jalan pemersatu suku, seperti yang terjadi  dalam kasus Papua. Batik Papua berkaitan dengan batik Pekalongan, tentunya kita tidak bisa melupakan sosok Jimmy yang berperan membudayakan batik Papua serta memberdayakan masyarakat sekitar untuk membatik. Dengan ini, masyarakat Papua akan dilihat dengan karyanya bukan dengan ketertinggalannya serta menujukkan kesan terbuka dengan budaya lain.
(AKBP)

Sabtu, 11 Februari 2012

Tentang Batik

Beberapa waktu terakhir ini bidang kebudayaan sedang gencar-gencarnya diangkat ke berbagai ajang. Pemerintah, media massa, hingga desainer, bergantian mengangkat tema budaya ke wilayah publik. Bersamaan dengan fenomena tersebut, kebudayaan Indonesia juga semakin dikenal dan diakui dunia. Setelah Wayang dan Keris, pada tahun 2009 Batik Indonesia menyusul diakui oleh Unesco sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Cultural Heritage of Humanity atau warisan kebudayaan takbenda manusia. Semakin terkenalnya kebudayaan Indonesia di dunia tentunya menuntut kita untuk semakin rajin mempelajari budaya sendiri. Jangan sampai bangsa lain lebih tahu kebudayaan kita.

Dari tiga bentuk kebudayaan kita diatas, batik dapat dikatakan sebagai yang paling berkembang saat ini. Motif-motif batik telah dikembangkan dalam berbagai bidang yang dulu dianggap sama sekali tidak ada hubungannya dengan batik atau kebudayaan, misalnya program komputer dan desain font. Nama buletin ini pun diambil dari nama sebuah motif batik.

Kata batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik” (Kusumaningtyas, Rindia Fanny: 2009). Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan proses pembuatan batik itu sendiri. Kata batik kemudian digunakan untuk menyebut kain dengan corak hasil pewarnaan menggunakan malam. Kain batik Indonesia sangat beragam, hampir setiap daerah mempunyai motif khas sendiri-sendiri, termasuk Batik Jawa.

Secara umum batik Jawa dapat digolongkan menjadi dua, batik keraton dan batik pesisir. Penggolongan ini selain berdasarkan tempat pembuatan, juga berdasarkan corak dan motif. Batik keraton pembuatannya berpusat di lingkungan sekitar keraton Yogyakarta dan Surakarta, sedangkan batik pesisir tersebar luas di daerah-daerah pesisir Jawa seperti Pekalongan, Lasem dan Cirebon. Warna dan motif batik keraton cenderung tidak banyak variasinya. Warnanya berkutat pada coklat, hitam, putih, dan biru tua. Batik pesisir lebih beragam, warna yang digunakan mencolok dan bermacam-macam. Motif batik keraton lebih bermakna simbolis dengan berlatar belakang kebudayaan Hindu dan Kejawen, sedangkan motif batik pesisir bersifat naturalis dengan latar belakang kebudayaan luar (Ensiklopedi Nasional Indonesia: 1997).



Motif batik keraton dapat dibagi lagi menjadi motif keraton Yogyakarta dan keraton Surakarta. Motif batik keraton Yogyakarta cenderung berwarna putih, biru tua, dan coklat sogan, sedangkan motif keraton Surakarta kebanyakan berwarna coklat kekuningan tanpa warna putih. Meskipun berbeda warnanya, namun secara makna filosofis kedua motif batik ini sama. Hal ini karena baik motif batik Yogyakarta maupun Surakarta berasal dari sumber yang sama, yakni motif batik keraton Mataram.
(WZ)

Tragedi Eksistensi Budaya (menilik peristiwa perusakan patung di Purwakarta)



Purwakarta, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, terletak ±80 km sebelah timur Jakarta. Kabupaten Purwakarta memiliki motto “Wibawa Karta Raharja”, yang bermakna daerah terhormat/berwibawa, ramai/hidup, serta makmur atau sejahtera. Beberapa ada yang menyebut bahwa Purwakarta adalah kota religius. Sebutan kota religius jugalah yang disinyalir sebagai latar belakang tragedi perusakan patung-patung yang dianggap sebagai patung menuju kemusyrikan.

Tanggal 18 September lalu, masyarakat Purwakerta yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Purwakarta (MPP) merobohkan 4 patung tokoh pewayangan.  Aksi brutal masyarakat tersebut cukup menarik perhatian public, dan banyak diperbincangkan oleh kalayak umum. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa tindakan brutal tersebut dilatar belakangi karena urusan agama, dan tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa terdapat unsur politik dalam perusakan tersebut.

Pada hakikatnya, pengadaan dan pemasangan patung-patung tokoh pewayangan tersebut adalah suatu bentuk pelestarian budaya, namun dinilai berdeda oleh masyarakat Purwakarta. Masyarakat Purwakarta menilai pengadaan patung pewayangan tersebut tidak sesuai dengan image Purwakarta sebagai kota religius. Bahkan sampai saat ini masih belum ditemukan titik temu. Menurut Pemerhati budaya Eka Budianta, perusakan patung-patung wayang di Purwakarta yang dilakukan sekelompok orang mencerminkan militerisme primitif dan budaya tidak melestarikan (MediaIndonesia.com).

Aksi brutal tersebut juga menunjukkan gagalnya negara dalam menegakkan amanat UUD 1945 khusunya pasal 32 ayat (1) yang berisikan “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Tokoh pewayangan merupakan  bagian dari wayang yang dikenal oleh dunia sebagai hasil kebudayaan asli Indonesia, dan merupakan salah satu artefak yang sangat perlu dilestarikan.


Semoga kejadian serupa tidak terjadi kembali. Bagaimanapun dan siapapun seharusnya berpandangan lebih luas dalam menyikapi perihal apapun. Termasuk dalam memberikan sekat antara budaya dan agama sebagai ruang pembatas berdasarkan olah pikir yang matang dalam mengambil sikap.

Norma Rizkiananingrum
Kepala Departemen Keilmuan BEM FIB UI

Perselingkuhan Agama dan Tradisi

                                                   
Tidak bisa dinafikkan bahwa agama merupakan hal yang terkadang tidak dapat disejajarkan dengan nilai-nilai tradisi yang ada di suatu wilayah. Agama dan tradisi terkadang menjadi sebuah bentuk pertentangan tapi juga menjadi rekan yang tak dapat terpisahkan, saling mengimbangi kondisi sosial masyarakat.

Agama tidak bisa menafikan eksistensi tradisi sebagai khazanah hasil pencapaian makhluk yang bernama manusia. Karena bagaimanapun tradisi merupakan nilai yang turun-temurun dari perkembangan suatu masyarakat, agama biasanya dihadapkan dengan berbagai masalah yang ada dalam lingkup masyarakat tersebut yang kemudian akan mempengaruhi tradisi di lingkungan masyarakat itu.

Perselingkuhan antara Agama dan tradisi merupakan hukum alam yang tak bisa terbantahkan , maksudnya agama tetap akan berada di tengah-tengah tradisi untuk saling pengaruh-mempengaruhi. Disini bukan berarti agama tunduk pada konteks yang ada melainkan menyesuaikan diri demi terciptanya kemaslahatan umat yakni dengan cara memadukan antara teks dan konteks. Jadi jika agama hadir sebagai jawaban sosial seperti ini maka tak ubahnya tradisi adalah anak dari hasil perselingkuhan agama, karena tradisi yang bersifat pemikiran yang profan dilandaskan dengan teks keagamaan yang sakral. Profan sendiri adalah pertautan antara yang sakral dan profal.

Disini kita temukan bahwa agama berusaha menyesuaikan diri di tengah-tengah tradisi tentunya juga akan memilah apa saja tradisi yang baik dan tradisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang kemudian di tinggalkan. Agama akan mengambil segi rasionalitas dari tradisi dan akan mengeliminasi segi-segi yang sudah tidak relevan dan berbau klenik atau irasional.

Tradisi akan mengikuti waktu dan waktu terus berjalan serta mencari penyesuaian-penyesuaian untuk menuju hal yang sempurna, oleh karena itu buat apa mempertahankan tradisi yang sudah usang termakan zaman kalau tidak menimbulkan manfaat bagi masyarakat sekitar sehingga perlu adanya pemikiran tantang guna dan fungsi tentang tradisi.

Menurut Abed al- Jabiri, tradisi adalah repetisi pemikiran orang terdahulu. Diakui atau tidak pengaruh tradisi sangat signifikan terhadap suatu agama, apabila studi kita tentang tradisi Jawa maka kita ketahui bahwa pengaruh tradisi Jawa terhadap salah satu agama seperti  halnya Islam sungguh mengakar dan kuat. Perlu adanya pemikiran dan penafsiran baru terhadap tradisi sehingga melahirkan gagasan-gagasan yang baru pula di tengah perkembangan zaman, karena jika hanya berkutik pada tradisi lama tentu akan tergerus oleh zaman.
Bukan berarti kita membumihanguskan apa yang disebut dengan tradisi di masyarakat hanya karena kita memiliki pandangan yang berbeda terutama dalam paradigma yang ada, bukan pula apa yang disebut perselingkuhan agama dan tradisi adalah sinkretisme melainkan disini kita sebagai manusia yang beragama dan ditengah-tengah tradisi leluhur yang agaknya masih kental tentu harus berpikir secara bijak dan toleransi saling memahami bersama jangan menjustifikasi suatu tradisi yang ada dengan tindakan kekerasan ataupun pemusnahan benda-benda sejarah yang akhirnya merugikan semua umat, padahal agama adalah bentuk jawaban atas relitas sosial yang ada dimasyarakat.
(AKBP)

Pementasan Teater Wayang Lakon Narasoma

Pada hari Rabu (9/11) Program Studi Jawa berhasil mementaskan sebuah lakon wayang Narasoma di Auditorium Gedung IX FIB-UI. Pementasan kali ini digarap dalam bentuk teater wayang moderen. Pementasan yang disutradarai oleh Darmoko M. Hum ini menggabungkan antara wayang kulit dan wayang wong. Lakon wayang dibuka oleh persembahan tembang-tembang Jawa yang diiringi gamelan Jawa. Iringan gamelan Jawa dipipimpin oleh Ari Prasetiyo S.Hum M.Si yang sehari-hari mengajar mata kuliah MPKS Karawitan Jawa. Sedangkan bagian wayang kulit didalangi oleh seorang dalang muda yang cukup berbakat Dwi Rahmawanto, mahasiswa tingkat dua jurusan Sastra Jawa Universitas Indonesia. Pementasan ini merupakan proyek nyata pengabdian masyarakat yang turut didukung oleh Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia bekerjasama dengan Sekar Budaya Nusantara.

Lakon Narasoma menceritakan perjalanan hidup Narasoma seorang ksatria yang mencari jatidirinya. Narasoma memiliki sikap yang sombong tapi idealis. Kesombongannya telah membuatnya harus merelakan Madrim dan Kunthi kepada Pandu. Sisi idealisnya ketika Narasoma menolak menerima begitu saja harta dan tahta peninggalan Ayahnya. Pengembaraan Narasoma akhirnya berakhir setelah kematian Bagaspati ayah dari Pujawati calon istrinya atas perintah Bagaspati demi mewariskan ajian candabirawa kepada Narasoma. Cerita ini mengamanatkan agar memiliki sikap yang idealis tapi tidak sombong dalam kehidupan.


Perpustakaan atau Starbucks?

Mahasiswa UI pasti sudah paham mengenai gedung yang berbentuk seperti ‘markas Power Rangers’ atau ‘rumah Teletubies’ sebagai Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia. Semenjak dibuka pada bulan April 2011, perpustakaan yang konon merupakan perpustakaan terbesar di Asia ini ‘belum bernama’ karena pada bagian depan gedung belum memiliki ikon tulisan yang menyatakan gedung tersebut adalah perpustakaan. Ikon paling mencolok adalah tulisan Starbucks yang terpampang disisi gedung berhadapan langsung dengan danau Kenanga. Masyarakat di luar UI mungkin tidak tahu bahwa gedung tersebut adalah Perpustakaan Pusat UI. Mereka akan berpikir bahwa gedung tersebut mal, kafe atau malah rumah Teletubies seperti selentingan sebagian mahasiswa lainnya.

Bangsa Indonesia sejak lama paham betul bahwa nama merupakan sesuatu yang sakral terlebih lagi dalam kebudayaan Jawa. Nama anak misalnya, memiliki berbagai makna yang tersirat mengandung martabat, harapan, atau identitas sosial pemiliknya. Pada keturunan Raja, nama biasanya diberikan gelar seperti Raden, Raden Ajeng, Raden Mas dan lain-lain yang menunjukan identitas sosial mereka. Nama juga dapat menunjukan waktu kelahiran, misalnya Legi, Wage, Kliwon yang menunjukan hari ketika anak lahir. Selain penunjuk waktu, nama memiliki harapan tertentu misal Sugih yang berarti kaya, Urip berarti hidup, Beja berarti beruntung. Kesemua makna nama tersebut menunjukan betapa pentingnya nama bagi orang Jawa.

Terkait makna nama bangunan Perpustakaan Pusat UI muncul banyak pertanyaan. Tulisan Starbucks yang cukup besar, apakah berarti pembangunan Perpustakaan Pusat disponsori secara tunggal oleh kedai ini? Atau bermakna kita telah dijajah tanpa sadar? Terlebih telah kita ketahui, bahwa kedai Starbucks merupakan produk asal negara Paman Sam. (RR)

JARE

“Orang luar tidak akan tahu kalau gedung itu perpus, nama memang sesuatu yang penting. Dulu ada tulisan penunjuk gedung tersebut perpus pusat tapi entah dimana sekarang”. ( Dian, FH-UI Angkatan 2009)

 “Gue baru sadar loh soal itu. Nama Starbucks mungkin merupakan sponsor sama dengan tulisan Bank BNI dan Restoran Korea. Gedung itu mirip Citos isinya hanya tempat makan saja”. ( Terra, FIB-UI Angkatan 2010)

“Kalau kondisinya seperti sekarang, gedung ini dapat dikatakan tidak bermakna. Seharusnya ada tulisan keterangan perpus yang ukurannya lebih besar dibanding tulisan Starbucks itu”. ( Lia, FH-UI Angkatan 2009)

“Cenderung seperti mal bukan perpustakaan Dari depan tidak ada namanya, sedangkan dari samping tulisannya Starbucks. Bangunannya juga tidak menunjukan kalau itu sebuah perpustakaan”. (Andra, FIB-UI Angkatan 2010)

“Dulu pernah ada namanya Crystal of Knowladge seperti baliho itu, tapi tidak tahu sekarang”. (Rizal, FIB UI 2010)

Tentang Blangkon


Sebagai simbol tradisi dan budaya masyarakat penutup kepala yang bernama blangkon  telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Jawa khususnya di sekitar wilayah Yogyakarta dan Solo. Sebuah kisah mengawali tentang bagaimana adanya blangkon di tanah Jawa, kisah itu adalah tentang seorang bernama Aji Saka. Dalam kisah Aji Saka di ceritakan bahwa Saat terjadi pertempuran sengit antara dirinya dan raksasa bernama Dewata Cengkar (seorang raksasa penguasa tanah Jawa), Aji Saka berhasil menaklukkannya dengan cara menggelar sorban yang dapat menutupi seluruh pulau Jawa. Aji Saka sendiri dikenal sebagai sosok yang memperkenalkan aksara Jawa dan tahun Jawa.

Dari berbagai teori mengenai asal-muasal Blangkon menyebutkan pula bahwa pemakaian blangkon merupakan pengaruh dari budaya Hindu dan Islam yang diserap oleh masyarakat Jawa kala itu. Dari teori para ahli pula menyebutkan bahwa orang Islam yang masuk ke tanah Jawa berasal dari dua tempat yaitu daratan Gujarat dan daratan China atau Tiongkok, dan para pendatang ini juga telah menggunakan sorban atau kain pengikat kepala yang panjang dan lebar yang kemudian menginspirasi penduduk lokal untuk membuat penutup kepala yang dalam perkembangannya bernama Blangkon. Dari sinilah pendapat tentang adanya blangkon yang terinspirasi dari para pendatang China dan Gujarat.

Ada pula pendapat tentang asal muasal Blangkon dari para sesepuh, bahwa ikat kepala pada zaman dahulu tidaklah permanen yang selalu menempel dikepala, tetapi karena adanya krisis ekonomi akibat peperangan yang menjadikan kain menjadi bahan yang sangat istimewa maka pihak keraton meminta seniman untuk mencipta sebuah penutup kepala yang permanen serta mengurangi panjang kain yang digunakan untuk efisiensi.

Semakin memenuhi pakem yang sudah ditetapkan maka nilai suatu blangkon akan semakin tinggi, keahlian membuat blangkon membutuhkan ketrampilan tinggi “virtuso skill” pendapat budayawan bernama Becker.
Blangkon pada dasarnya merupakan kain yang di ikat atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar. Ukurannya memiliki kelebaran 105cm x 105 cm, Ukurannya di hitung berdasarkan jarak garis lintang dari telinga kanan dan kiri melalui dahi, dengan ukuran terkecil bernomer 48 dan paling besar bernomer 59.

Blangkon Surakarta

 
Blangkon Yogyakarta



Blangkon memiliki berbagai model, seperti halnya blangklon yang menggunakan mondholan atau tonjolan di bagian belakang, ini adalah versi Yogyakarta. Tonjolan ini mengingatkan kita bagaimana rambut panjang orang pada masa itu yang diikat di bagian kepala sehingga memunculkan tonjolan ke belakang. Sedangkan yang berikutnya adalah balangkon model trepes, blangkon model ini adalah gaya Surakarta, gaya ini merupakan model modifikasi dari blangkon Yogyakarta yang menyesuaikan zaman sekarang bahwa kebanyakan pria berambut pendek. Model trepes sendiri membuatnya dengan cara menjahit mondholan langsung ke belakang blangkon.

Memang blangkon identik dengan suku Jawa, tetapi patut diketahui juga bahwa di berbagai suku bangsa ada juga tutup kepala yang hampir sama dengan blangkon hanya berbeda pakem dan gaya serta nama tentunya. Seperti halnya tutup kepala ala Sunda, Bali, Madura yang memiliki nama dan karakteristik tersendiri. (AKBP)