Social Icons

Pages

Kamis, 27 September 2012

Hitam, Putih, dan Abu-abunya Karakter Wayang


Oleh Rizky Ramadhani

1.      Yudistira
Yudhistira adalah salah satu tokoh dari pandawa lima. Pandawa merupakan tokoh protagonis dalam kisah Mahabarata. Sifat yang dimiliki seorang Yudhistira antara lain adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran agama, penuh percaya diri, dan berani.berspekulasi. Yudhistira juga dikenal sebagai tokoh yang memiliki kesaktian batin contohnya dalam menakhlukan hewan buas di hutan wanamarta.

2.      Bima
Bima adalah tokoh wayang yang berkarakter putih. Bima juga bagian dari pandawa lima.. Sebagai sorang pandawa maka sudah dipastikan berkarakter putih. Sifat-sifat protagonis yang ia miliki antara lain gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya.

3.      Arjuna
Arjuna juga termasuk Pandawa dan memiliki karateristik protagonis sehingga Arjuna tergolong tokoh putih. Sifat-sifat yang menunjukan keprotagonisanya antara lain cerdik dan pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Arjuna banyak menjati kiblat bersikap karena sikap menjunjung tinggi sikap ksatriyanya.

4.      Nakula
Nakula merupakan tokoh Pandawa yang memiliki saudara kembar dengan sadewa. Nakula termasuk tokoh protagonis atau tokoh putih. Nakula memiliki paras yang tampan. Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia.

5.      Sadewa
Sebagai  adik kembar dari Nakula, Sadewa juga berkarakter putih atau protagonis. Karakter ini muncul karena sadewa memiliki beberapa sikap yang luar biasa diantaranya bijak dan pandai, bahkan Yudisthira pernah berkata bahwa Sadewa memiliki kebijaksanaan lebih tinggi daripada Wrehaspati, guru para Dewa. Sadewa merupakan tokoh pendiam dalam kisah Mahabharata. Dikisahkan juga bahwa Sadewa adalah tokoh yang berhasil membunuh Sengkuni, paman para Kurawa yang terkenal dengan kelicikannya dan pintar menghasut. Sadewa berhasil membunuh Sengkuni dengan kecerdikan dan kepandaian yang dia miliki.

6.      Drupadi
Drupadi adalah isteri para pandawa dalam kisah mahabarata versi India. Namun, dalam perkembangannya dalam kisah Mahabarata versi Jawa, Drupadi merupakan isteri dari Yudhistira saja. Drupadi menduduki posisi protagonis atau putih karena sikap dan dukungannya terhadap Pandawa. Sebagai seorang isteri dari Pandawa, hidupnya didedikasikan untuk mendukung dan melayani Pandawa.

7.      Dewi Kunthi
Dewi Kunthi adalah ibu dari keempat anggota Pandawa selain Nakula. Dewi Kunthi merupakan tokoh putih dalam kisah Mahabarata. Sebagai seorang ibu, sikapnya sangat arif dan bijaksana, serta welas asih. Selalu memberikan nasihat dan petuah kepada para Pandawa agar selalu bersikap baik. Dewi Kunthi juga yang mendidik para Pandawa sejak kecil hingga besar.

8.      Rama
Rama merupakan tokoh wayang yang tergolong ke dalam kisah Ramayana. Rama merupakan tokoh utama dalam kisah ini sehingga menjadikannya sebagai tokoh protagonis. Rama memiliki sikap setia dalam menjalin hubungan dengan kekasihnya Sinta. Kesetiannya bahkan hingga rela berkorban untuk mengembalikan Sinta kepangkuannya. Rama juga berkarakter berani, sabar, dan tidak tamak kekuasaan. Rama juga memiliki jiwa yang ikhlas dalam menghadapi cobaan.

9.      Sinta
Sinta merupakan tokoh utama yang bersifat protagonis dalam kisah Ramayana. Sinta merupakan pasangan yang setia, sabar, dan tabah dalam menghadapi cobaan. Kesetiaannya diuji ketika dalam masa penculikan oleh rahwana. Sinta bahkan sangat menjaga kesuciannya demi kesetiaannya terhadap kekasihnya Rama. Kesabaran dan kekuatannya dalam menghadapi ujian di asingkan ke hutan serta dalam masa penculikan menjadikannya sosok yang tabah.

10.  Hanoman
Hanoman juga termasuk ke dalam jejeran wayang dalam kisah Ramayana, meskipun dalam perkembangannya tokoh hanoman juga masuk ke dalam kisah Mahabarata. Hanoman merupakan tokoh putih menduduki posisi protagonis. Sifat-sifat dasar yang dimiki tokoh hanoman patut untuk dijadikan panutan. Meskipun hanoman digambarkan sebagai seekor kera, hanoman memiliki jiwa ksatriya. Hidupnya didedikasikan untuk menolong. Dalam kaitannya kisah Ramayana, hanoman dengan murah hati, welas asih, dan keberanian yang luar biasa memimpin pasukan kera untuk membebaskan Sinta dari cengkraman Rahwana. Hanoman tidak takut akan samudra luas, lautan api, atau hambatan apapun yang maha dahsyat. Dia hanya takut pada dirinya sendiri.

11.  Laksmana
Laksmana adalah adik dari Rama dalam kisah Ramayana. Laksmana memiliki kedudukan protagonis karena dia memiliki sifat-sifat yang patut diteladani. Sifat-sifat tersebut antara lain, patuh dan setia. Kepatuhan laksmana tercermin dalam adegan pengembaraan rama dan sinta di suatu hutan. Laksmana dengan setia terhadap kakaknya rela untuk menemani Rama dan Sinta dalam setiap perjalanannya. Laksmana juga menjadi pelindung kala itu. Oleh karena itu, laksmana dapat dikategorikan sebagai tokoh putih.

12.  Wibisana
Meskipun berasal dari bangsa raksasa, namun Wibisana memiliki kepribadian yang berbeda. Biasanya para Rakshasa dikisahkan sebagai pembuat onar, perusuh kaum brahmana, dan pemakan daging manusia. Namun Wibisana terkenal berhati lembut dan hidup dalam kebijaksanaan. Oleh karena itu, wibisana tergolong ke dalam tokoh putih.

13.  Semar
Semar merupakan tokoh putih dalam kisah wayang manapun. Dia selalu muncul dalam lakon apapun saat permainan wayang. Sikapnya yang sederhana merupakan gambaran jiwanya yang putih. Meskipun dia seorang ksatriya yang setingkat Kresna, namun dia merakyat karena bercampur baur dengan golongan bawah. Semar hanyalah seorang abdi.

14.  Duryodhana
Duryodhana merupakan tokoh sentral dalam kisah Mahabarata yang menduduki peran antagonis atau dapat disebut tokoh hitam. Duryodhana adalah pemimpin pasukan korawa. Sifat kehitaman yang ia miliki antara lain iri dan dengki. Sifat iri menjadi landasan tindakan yang ia lakukan. Keiriannya terhadap keluarga Pandawa, terlalu mendarah daging hingga menyebabkan perpecahan  atau perang besar yang kemudian disebut perang barata yudha. Duryudhana juga digambarkan sebagi tokoh yang haus akan kekuasaan.

15.  Sengkuni
Sengkuni merupakan bagian dari 100 korawa. Sengkuni berkedudukan sebagai patih atau penasihat kerajaan Hastina. Sikap jeleknya adalah selalu mengobarkan isu-isu yang memanaskan para Korawa sehingga membawa dalam konfik yang lebih besar.  Sengkuni bertugas memanas-manasi Duryodhana agar semakin membenci Pandawa dan menghasut agar pecah perang barata yudha.

16.  Rahwana
Rahwana adalah sosok sentral yang menduduki posisi antagonis dalam kisah Ramayana. Rahwana disebut sebagai tokoh hitam karena keinginannya untuk memiliki Sinta, padahal Sinta merupakan isteri Rama. Hingga puncaknya, Rahwana menculik Sinta dan menawannya di Kerajaan Alengka. Meskipun Sinta menolak, Rahwana tetap memaksa agar Sinta mau menikah dengannya.

17.  Sarpakenaka
Sarpakenaka adalah adik dari Rahwana dalam kisah Ramayana. Sarpakenaka tergolong sosok hitam karena dialah yang membantu Rahwana untuk menculik Sinta. Dia yang memimpin pasukan untuk menangkap Sinta di hutan belantara. Dia juga yang menyamar menjadi sosok kijang kencana.

18.  Buriswara
Buriswara termasuk tokoh hitam dalam kisah pewayangan Mahabarata. Sikapnya yang menghalalkan segala cara agar bisa menikah dengan Sembadra, merupakan sisi negatif tokoh ini. Buriswara harus bersaing dengan Arjuna untuk mendapatkan Sembadra. Karena kecurangannya, akhirnya  Buriswara gagal memenuhi persyaratan agar dapat menikah dengan Sembadra.



Adipati Karna, Tokoh Abu-abu dalam kisah Mahabarata
19.  Karna
Karna termasuk tokoh wayang dalam kisah Mahabarata dengan peran abu-abu. Sebenarnya, Karna merupakan kembaran dari Arjuna. Secara fisik maupun sikapnya sangat mirip dengan Arjuna. Berjiwa ksatriya, bijaksana, arif dan berani. Hanya saja, Karna terlanjur besar dalam keluarga Korawa, sehingga dia menjadi bagian dari pasukan Korawa yang berperang melawan Pandawa. Hingga sebelum pecah perang, Karna baru tahu bahwa sebenarnya dia adalah seorang anak kembar dari ibunya Dewi Kunthi. Namun, demi kekonsistenannya mendukung Korawa, dengan terpaksa ia harus berduel dengan kembarannya sendiri, Sang Arjuna dalam perang Barata Yudha.

20.  Kijang Kencana
Kijang kencana atau kijang emas adalah tokoh hewan dalam kisah Ramayana. Kijang kencana tergolong sebagai tokoh abu-abu karena dalam perwujudannya kijang ini berupa indah mempesona sehingga membuat Sinta jatuh hati dan tertarik untuk memilikinya. Kijang kencana sebenarnya hanyalah tipu daya adik rahwana yang bertugas menangkap atau menculik Sinta di hutan belantara.

Selasa, 25 September 2012

Sudah Tahukah Kamu?

Peta Persebaran Dialek Cirebonan

KOWE WIS NGERTI APA DURUNG
( Bahasa di Cirebon )
  1. Sebagian besar kosa kata daerah cirebon tidak memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) namun juga mengandung kosa kata bahasa Sunda.
  2. Sebelum tahun 1970 sekolah-sekolah di Cirebon menggunakan pembelajaran bahasa Jawa standar, namun akhirnya tidak dapat digunakan karena terlalu sulit dipahami, hingga kemudian diganti dengan pelajaran bahasa Sunda yang lebih mudah dipahami.
  3. Kebijakan menggunakan bahasa Sunda ternyata juga tidak tepat hingga akhirnya dibuat mata pelajaran bahasa Jawa dialek Cirebon
  4. Sejak tahun 2001 istilah “bahasa Jawa dialek Cirebon” dalam pembelajaran di sekolah pun berubah menjadi “bahasa Cirebon”, yang disebut-sebut sebagai bahasa yang mandiri.

Kesultanan Cirebon

Denah Kesultanan Cirebon

Cirebon adalah daerah di pantai utara Jawa Barat. Daerah ini penting untuk di bahas, karena keunikan budayanya. Kebudayaan Cirebon adalah hasil campuran beberapa budaya di sekitarnya. Bahasa misalnya, menunjukkan pengaruh bahasa Jawa dan Sunda yang kuat. Bagaimana percampuran itu bisa terjadi? Mungkin menelusuri sejarah kesultanan Cirebon dapat membantu kita memahaminya.

Dahulu Cirebon adalah sebuah desa kecil bernama Caruban yang dibuka oleh Ki Gedeng Tapa. Ki Gedeng Tapa adalah seorang Saudagar di pelabuhan Muarajati. Sejak ia membuka desa, mulai banyak orang yang ikut menetap di sana. Nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran) lama-kelamaan berganti dengan Cirebon (Bahasa Sunda: air rebon) karena banyak orang yang bermata pencaharian sebagai pencari ikan dan rebon (udang kecil). Orang pertama yang diangkat menjadi kuwu (kepala desa) adalah Ki Gedeng Alang-Alang dan wakilnya adalah Raden Walangsungsang, cucu Ki Gedeng Tapa yang juga putera Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran.

Setelah Ki Gedeng Alang-Alang meninggal, Raden Walangsungsang melanjutkan sebagai kuwu yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Ketika Ki Gedeng Tapa meninggal, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan jabatan itu, melainkan mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan Cirebon.

Pada tahun 1479 ia meninggal dunia dan kedudukannya digantikan oleh keponakannya yang bernama Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah yang juga dikenal sebagai Sunan Gunung Jati adalah putera dari Nyai Rara Santang dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Kesultanan Cirebon banyak berkembang pada masa ini. Saat Syarif Hidayatullah meninggal, yang diangkat menjadi pengganti adalah Fatahillah, menantunya. Ini karena putranya yang masih hidup telah memerintah di Banten.

Setelah Fatahillah meninggal, ia digantikan oleh cucu Sunan Gunung Jati, yang bergelar Panembahan Ratu I. Panembahan Ratu I kemudian diganti oleh Pangeran Karim yang bergelar Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya.

Pada masa Panembahan Girilaya, Cirebon berada diantara kekuatan Banten dan Mataram yang sama-sama menaruh curiga. Selain masih mempunyai ikatan darah dengan Banten, Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma Mataram. Puncaknya, Panembahan Girilaya meninggal saat berkunjung ke Surakarta. Selain itu, kedua putranya yang bernama Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya juga ditahan.

Kekosongan kekuasaan di Cirebon membuat sultan Banten menobatkan Wangsakerta, putera ketiga Panembahan Girilaya, sebagai pengganti. Sultan Banten juga membantu memulangkan dua pangeran yang ditahan Mataram.

Pada tahun 1677, kesultanan Cirebon pecah menjadi tiga:

1. Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703)
2. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
3. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713)

Setelah perpecahan tersebut masih ada perpecahan lagi pada tahun 1807. Saat itu putra Sultan Anom IV ingin membangun kesultanan sendiri. Keinginan itu didukung pemerintah belanda. Akhirnya muncul kesultanan baru yang bernama kesultanan Kacirebonan. (PDS)

Di Balik Awan Batik Megamendung

Motif Batik Mega Mendung Asal Cirebon

     Dari namanya sudah dapat diterka motif dari batik khas Cirebon, Jawa Barat. Batik megamendung memiliki motif berupa bentuk awan. Motif yang tidak dapat dijumpai di wilayah pesisir utara lainnya.
      Di balik bentuk awan batik megamendung tersimpan sejarah panjang penciptaannya. Dimulai dari latar belakang yang menginspirasi para pebatik Cirebon hingga batik megamendung bisa terkenal seperti sekarang. Sejarah motif batik megamendung berawal di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Dahulu, tempat tersebut dijadikan persinggahan para pedagang yang berasal dari timur Asia, salah satunya adalah bangsa Cina. Kemudian, dikisahkan bahwa Sunan Gunung Jati menikah dengan Putri Ong Tien. Motif dari barang-barang yang dibawa oleh Putri Ong Tien menginspirasi para seniman di Kota Cirebon. Beberapa di antaranya adalah motif burung hong, naga, kupu-kupu, termasuk juga bentuk awan. Motif awan yang berasal dari Bangsa Cina kemudian diadopsi dan disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat.
     Komaraudin Kudiya, Ketua Harian Yayasan Batik Jawa Barat, dalam artikelnya yang berjudul Motif Batik Megamendung menyatakan bahwa motif bati megamendung memiliki makna filosofis yang berkaitan erat dengan alur kehidupan manusia. Garis lengkung yang menggambarkan pasang surut kehidupan manusia. Putaran keluar artinya manusia akan terus berkembang keluar untuk mencari jati diri. Kemudian garis lengkung tersebut akan kembali memusat tanpa terputus, yang memiliki makna bahwa manusia pada akhirnya akan kembali ke asal penciptaan.
     Bentuk yang khas serta filosofi yang mendalam dari motif batik megamendung membuatnya lestari hingga saat ini. Motif batik megamendung tidak hanya kita jumpai di wilayah Cirebon, tetapi juga kota-kota lain di Indonesia, bahkan hingga mancanegara. Adalah buku Pepin Van Roojen berjudul Batik Design yang menggunakan motif batik megamendung sebagai sampul bukunya. (RN)

Keraton Kasepuhan


Halaman Keraton Kasepuhan, Cirebon
             Keraton Kasunanan merupakan salah satu dari 4 ‘rangkaian’ keraton yang terdapat di Cirebon. Keraton Kasepuhan secara administratif masuk dalam wilayah Kota Cirebon. Keratin Kasepuhan didirikan oleh Sunan Gunung Jati pada tahun 1529
      Di Keraton Kasepuhan terdapat bangunan-bangunan sisa peninggalan Kerajaan Cirebon yang menarik, seperti Bangsal Panembahan, Bangsal Parabayaksa, Bangsal Pringgadani, Gajah Nguling, Jinem Pangrawit, Jinem Arum, Langgar Alit, Bunderan Dewan Daru, Museum Kereta Barong, Gapura Gledegan, Langgar Agung, Gapura Loncenga, Siti Inggil, Lapangan Giyanti, Jembatan Pangruwit, dan Pancaratna. Tiap-tiap bangunan tersebut memiliki cerita masing-masing yang berbeda. Gaya arsitektur yang terdapat pada Keraton Kasepuhan mendapat pengaruh Islam, Hindu, Buddha, Barat, dan China.
       Selain bangunan-bangunan tersebut terdapat hal yang menarik dari Keraton Kasepuhan, yakni benteng keraton. Benteng Keraton cukup unik karena terbuat dari tumpukan bata merah yang dibiarkan tidak disemen. Benteng Keraton Kesultanan Cirebon ini tampak sangat berbeda dengan benteng keraton Kesunanan yang terdapat di Surakarta maupun Yogyakarta.


Senin, 03 September 2012

Harmonisasi Budaya dan Agama dalam Arsitektur Gereja Ganjuran


Gereja Ganjuran Berarsitektur Gaya Joglo
Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran terletak di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pembangunan gereja dimulai sekitar tahun 1924 atas prakarsa Joseph dan Julius Smutzer. Dua bersaudara kebangsaan Belanda pemilik Pabrik Gula Gondang Lipuro, Bantul. Setelah peresmiannya pada tahun 1930, gereja katolik ini sempat hancur akibat gempa yang melanda Yogyakarta tahun 2006 silam. Kemudian dilakukan renovasi tanpa menghilangkan unsur budaya Jawa dalam arsitektur bangunan.

Bentuk bangunan Gereja Ganjuran menunjukan keharmonisan antara budaya Jawa dengan agama Kristen Katolik. Atap gereja berbentuk limasan, seperti atap rumah joglo. Bangunan gereja yang mengadopsi bentuk rumah tradisional khas Jawa Tengah ini memang tidak hanya Gereja Ganjuran. Banyak gereja lain yang juga berbentuk rumah joglo, salah satunya Gereja St. Fransiskus di Cilandak Jakarta Selatan.

Selain atap bangunan, unsur budaya Jawa lainnya terlihat dari bangunan candi yang berada di sebelah kiri gereja. Candi tersebut tidak hanya difungsikan sebagai penghias kompleks gereja, tetapi juga sebagai tempat ibadah. Terdengar pula alunan musik gamelan yang mengiringi para umat ketika beribadah. Keunikan lain terletak pada patung-patung yang terdapat di dalam kompleks gereja. Patung-patung malaikat yang ada di sana mengenakan pakaian wayang orang. Demikian halnya dengan patung Bunda Maria. Patung Yesus juga mengenakan pakaian tradisional khas Raja Jawa dengan tangan menunjuk ke hati. Salah satunya sebagai penunjuk nama gereja, Gereja Hati Kudus Yesus.

Hal ini mengingatkan kepada kerusuhan yang pernah terjadi di Indonesia. Pertikaian berlatarbelakang budaya dan agama. Kebenaran budaya diadu dengan kebenaran agama. Belajar dari Gereja Ganjuran di Bantul, jika budaya dan agama bisa berjalan dengan harmonis, kenapa harus dipertentangkan? (RN)

Foto: wikipedia
Referensi: yogyes.com & wikipedia  

Mengenal Lebih Dekat Ki Manteb


Oleh, Rini Dwi Rahayu, Mahasiswa Sastra Jawa UI 
 
Mengenal Ki Manteb Sudharsono

Sosok Ki Manteb Sudharsono
Siapa yang tak mengenal Ki Manteb Sudharsono, dalang wayang kulit yang satu ini mendapat julukan dalang setan. Julukan itu diberikan karena kehebatannya dalam memainkan para tokoh wayang (sabetan). Ki Manteb Sudarsono memang memiliki darah seni dan bakat du dunia pedalangan. Pria kelahiran Selasa Legi, 31 Agustus 1948 di Dukuh Jatimalang, Kelurahan Palur, Kecamantan Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah ini dibesarkan di tengah keluarga dalang.

 Kakeknya yang bernama Dalang Tus adalah seorang dalang kondang, dan ayahnya, Ki Hardjo Brahim Hardjowijoyo juga seorang dalang yang pada masa kejayaannya cukup disegani, sedangkan ibunya adalah pesinden dan pengrawit yang berpengalaman. Sejak kecil Ki Manteb Soedharsono sangat rajin dan tekun mengikuti pementasan orang tuanya. Pengalaman masa kecilnya akrab dengan seluk-beluk dunia pewayangan telah membentuk pribadi Ki Manteb kaya akan memori dunia pertunjukan wayang kulit. Kedisiplinan sang ayah dalam mendidiknya, menjadikan kemampuan dan keterampilan Ki Manteb kecil terus berkembang. Selain mendalang, Ki Manteb juga trampil dalam memainkan instrumen gamelan dan bahkan menatah wayang kulit.

Dalam meningkatkan ketrampilannya, Ki Manteb banyak belajar kepada para dalang senior. Ia belajar dari dalang legendaris Ki Narto Sabdo yang mahir dalam seni dramatisasi pada tahun 1972, dan dari Ki Sudarman Gondodarsono yang ahli sabet (seni menggerakkan wayang) pada tahun 1974. Pada tahun 1982, berkat gemblengan dari dua dalang senior itu dan sang ayah, Ki Manteb berhasil menjuarai Pakeliran Padat se-Surakarta. Seorang promotor bernama Soedharko Prawiroyudo menawarkan Ki Manteb untuk tampil dalam pergelaran rutin Banjaran Bima di Jakarta. Pergelaran tersebut diselenggarakan setiap bulan sebanyak 12 episode sejak kelahiran sampai kematian Bima, tokoh Pandawa. Pergelaran itulah yang kemudian membuat nama Ki Manteb sebagai seniman tingkat nasional mulai diperhitungkan publik.

Julukan dalang setan diberikan pertama kali pada tahun 1987 oleh mantan menteri penerangan Boedihardjo, seusai menyaksikan Ki Manteb mendalang. Julukan itu sebagai bentuk kekaguman Boedihardjo terhadap sabetan (cara menggerakkan wayang kulit) yang dimiliki Ki Manteb. Ki Manteb bisa memainkan beberapa wayang sekaligus, dengan gerakan secara cepat dan berputar-putar dalam lakon peperangan yang luar biasa mencengangkan. Bagi penikmat wayang, gerakan-gerakan tersebut dianggap luar biasa dan tidak bisa dilakukan oleh sembarang dalang.

Dalang Berprestasi
Khusyuk meski telah lewat tengah malam
Banyak prestasi yang telah diraih Ki Manteb, ia sering mendalang di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Spanyol, Jerman, Jepang, Suriname, Belanda, Perancis, Belgia, Hongaria dan Austria. Pada tahun 1995, ia mendapat penghargaan dari Presiden Soeharto berupa Satya Lencana Kebudayaan. 

Kemudian pada tahun 2004, Ki Manteb memecahkan rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) karena kegemilangannya mendalang selama 24 jam 28 menit tanpa istirahat pada acara Ultah RRI Semarang. Tidak hanya di dalam negeri, Ki manteb juga menerima penghargaan di luar negeri, pada 19 Mei 2010, Ki Manteb menerima penghargaan budaya dari Nikkei Asia Prize, sebuah penghargaan dari penerbitan koran terbesar di Tokyo, Nihon Keiza Shimbun (Nikkei). Nikkei melihat dedikasi Ki Manteb yang sangat besar dalam melestarikan dan menekuni wayang kulit. Ki Manteb juga mampu menyebarkan dan menyajikan pertunjukan wayang yang memukau masyarakat tidak hanya di Indonesia namun juga di berbagai belahan dunia.

Ki Manteb Sudharsono bersama Senawangi, dan Pepadi sangat berperan dalam pengakuan wayang sebagai warisan budaya dunia. Pada 7 November 2003 Ki Manteb mendapat kehormatan untuk menampilkan pergelaran wayang kulit di Markas UNESCO di Paris hanya dalam waktu tiga menit hingga wayang mendapat penghargaan dari UNESCO sebagai World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. Pengajuan wayang sebagai warisan budaya dunia menurut Ki Manteb mula-mula berawal pada 2001 Unesco hendak memberikan penghargaan master piece untuk berbagai produk kebudayaan dari beberapa Negara, saat itu Indonesia belum berniat maju. 

Setelah penghargaan pertama diberikan kepada kelompok teater dari Jepang, mata kita baru terbuka. Kebetulan Unesco mendesak, sehingga pemerintah kemudian berpikir kira-kira produk budaya apa yang bisa diajukan untuk 2003. Penilaian yang dilakukan Unesco mencakup banyak sisi antara lain dari sisi estetika atau keindahan. Ada juga unsur orisinalitas. Itu berarti produk budaya yang dimaksud harus benar-benar ada di Indonesia saja, tidak duplikasi dengan budaya lain. Selain itu dinilai juga kandungan-kandungan lain, dan wayang dianggap memiliki semua sisi penilaian tersebut.

Pada saat itu ada 128 negara yang mengikuti dan yang berhasil masuk penilaian tahap kedua hanya 68 negara. Lalu dipilih lagi dan hanya 24 negara yang berhak mendapatkan penghargaan. Ternyata di antara 24 negara itu Indonesia lewat wayang purwa yang memenangi penghargaan Master Piece of The Oral and Intangible of Humanity tersebut. Salah satu unsur membuat wayang menang adalah kekentalan unsur filosofinya. Produk budaya dari negara lain, tidak banyak yang mengandung unsur filsafat. Misalnya saat itu tim penilai menanyakan kenapa ada adegan Dasamuka yang sudah terkena panah, sudah ditimpa gunung, kok tidak mati? Ki Manteb menjawab bahwa itu perlambang nafsu manusia. Dasamuka itu nafsu, dan nafsu tidak akan hilang jika manusia masih menghamba. Nafsu akan mati kalau manusia mati atau dunia kiamat.

Demikianlah perjalanan karier Ki Manteb Sudharsono dan berbagai penghargaan yang diraihnya untuk mengharumkan nama Indonesia di dalam dan di luar negeri. Maka kita patut bangga terhadap putra bangsa yang dapat dijadikan inspirasi dan motivasi, terutama bagi kaum muda.

Sumber: diolah dari berbagai sumber
fundaysmile.blogspot.com/
Suara Merdeka edisi 02 Mei 2004 dari wayangonline.com