Social Icons

Pages

Sabtu, 05 Januari 2013

Mitos dan Gunung Merapi



Ilustrasi 
Gunung merapi merupakan salah satu gunung teraktif di Indonesia. Gunung yang memiliki tinggi 2.968 meter diatas permukaan laut ini terletak di Pulau Jawa. Lebih tepatnya sisi selatan berada di kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, sisi barat berada di Kabupaten Magelang, sisi utara dan timur berada di Kabupaten Boyolali dan sisi tenggara berada di Kabupaten Klaten. Gunung Merapi berjarak 30km dari Magelang dan Yogyakarta. Gunung ini termasuk salah satu gunung teraktif, karena tercatat dalam setahun bisa mengalami erupsi dari dua hingga lima tahun sekali.

Erupsi yang besar terjadi pada tahun 2010, saking besarnya erupsi ini Balai Pengembangan Teknologi Kegunungan (BPPTK) mengumumkan radius bahaya hingga 20km dari puncak. Suara gemuruh letusan ini terdengar hingga kota Yogyakarta yang terletak 27km dari puncak. Selain itu abu vulkanik dari gunung Merapi juga sampai di Tasikmalaya, Bandung dan Bogor.

Namun dibalik besarnya gunung itu, terdapat mitos bahwa gunung Merapi dipercaya sebagai tempat keraton makhluk halus. Di puncak Merapi dipercaya terdapat sebuah keraton yang mirip dengan keraton Mataram dan menurut kepercayaan masyakarat setempat, Keraton tersebut diperintah oleh Mpu Rama dan Mpu Permadi. Selain itu ada juga Kyai Sapu Jagad yang membantu mengatur keadaan Merapi, ada Kyai Petruk yang dikenal sebagai salah satu prajurit Merapi, lalu ada Nyai Gadung Melati yang bertugas memelihara ternak Keraton dan sebagai komando pasukan makhluk halus. Nyai Gadung Melati ini acap kali memberitahu masyarakat gunung Merapi jika akan meletus dengan isyarat-isyarat alam.

Untuk membalas jasa-jasa yang telah diberikan oleh penghuni gunung Merapi, maka masyarakat sekitar mengadakan upacara ritual keagamaan. Seperti acara selamatan Labuhan yang diadakan rutin setiap tahun pada tanggal 30 Rajab. Selain itu disetiap tanggal 1Sura diadakan sedekah gunung. Begitulah gunung Merapi beserta mitos yqng mengelilingi gunung itu. Sampai sekarang masyarakat si gunung Merapi pun masih mempcayai mitos tersebut dan melaksanakan upacara yang harus dilakukan.

Mbah Marijan, Sang Kuncen Merapi

Ilustrasi

Ketika Gunung Merapi kembali menunjukan kekuatannya tahun 2010 lalu, profesi juru kunci cukup mendapat sorotan lantaran tindakan “sensasional” yang dilakukan. Mbah Maridjan, laki – laki kelahiran 1924 yang kala itu memangku jabatan sebagai kuncen Gunung Merapi tidak mau dievakuasi meski lahar dingin mulai merambah ke desa tempat tinggalnya. Sepakat dengan Mbah Maridjan, masyarakat desa setempat juga tidak mengindahkan himbauan untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Mereka begitu mempercayai Mbah Maridjan karena dianggap lebih mumpuni dalam membaca Merapi. Demikian hebatkah sang juru kunci?

Juru kunci atau biasa disebut dengan kuncen sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh Gunung Merapi, tetapi juga gunung lain, laut, juga makam. Pemilihan kuncen untuk setiap tempat tentu tidak dilakukan secara sembarangan. Mereka yang terpilih dianggap telah memahami karakteristik tempat – tempat tersebut. Demikian halnya dengan Mbah Maridjan, lebih dari 27 tahun beliau mempelajari Merapi dan segala aktivitasnya. Beliau menjaga kelestarian gunung dari tangan – tangan jahil yang tidak bertanggungjawab. Kepada para pendaki, Mas Penewu Surakso Hargo (Sang Penjaga atau Juru Kunci) memberi detail terkait jalur aman pendakian, hal – hal atau tempat terlarang, hingga tindakan penyelamatan apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dan saat Merapi mulai memperlihatkan aktivitas mencurigakan, beliau bertugas untuk menginformasikannya kepada masyarakat. Mbah Maridjan ibarat seorang duta besar yang menghubungkan Gunung Merapi dengan warga sekitar.

Tidak bijaksana rasanya jika profesi juru kunci selalu dikaitkan dengan hal beraroma mistis. Semua tindakan dan keputusan sang penjaga tentu memiliki latar belakang yang kuat. Niteni, demikian Mbah Maridjan menyebutnya. Niteni merupakan kegiatan membaca, memahami tidak terbatas kepada tulisan tetapi lebih luas lagi yakni membaca alam, memahami semesta. Sejak tahun 1983 Mbah Maridjan diberi amanat oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX untuk menjadi kuncen Gunung Merapi, sebelumnya beliau juga mendampingi sang ayah menjalankan amanat yang sama. Selama itu juga Mbah Maridjan bergaul dengan Merapi, membaca sampai akhirnya mampu memahami karakteristik gunung tersebut. Sehingga tidak tepat jika ada anggapan bahwa kegiatan juru kunci melulu berbau gaib atau mistis. Sebagai analogi, seorang ibu pasti akan memahami karaktersitik anak-anak sebab setiap hari tumbuh dan berkembang bersamanya. Ia juga pasti tau sikap yang harus diambil ketika si anak menangis misalnya. Sama seperti hubungan antara Mbah Maridjan dan Gunung Merapi, sangat rasional.

Mbah Marijan
Satu lagi tugas utama dari kuncen Merapi adalah memimpin upacara tahunan Labuhan Merapi. Upacara ini diselenggarakan setiap tanggal 30 bulan Rajab dalam kalender Islam. Usai serah terima ubarampe (perlengkapan upacara) dari Kraton Ngayogyakarta kepada Mbah Maridjan, ubarampe tersebut kemudian diarak dan disemayamkan di rumah sang juru kunci. Pada malam harinya, dilakukan kenduri wilujengan berupa renungan malam, tahlil, do’a dan tirakat yang dipimpin oleh kuncen Merapi. Semuanya dilakukan hanya untuk satu tujuan, keselamatan. Ketika perilaku selaras dengan hukum alam, keselamatan hidup bukan lagi keniscayaan.

Di balik amanat yang beliau pikul, Mbah Maridjan tetaplah seorang manusia biasa. Seorang suami, juga ayah yang lugu, ramah dan sederhana. Dalam keseharian beliau mengerjakan aktivitas seperti masyarakat desa pada umumnya, menggarap kebun, kerja bakti, ikut arisan desa, solat berjamaah di masjid, dan lain sebagainya. Sosok yang begitu berjasa akhirnya wafat di usia ke 83 tahun akibat terkena terjangan lahar dingin. Meskipun beliau telah tiada, juru kunci harus tetap ada mengingat situasi alam semakin tidak menentu dan kian mengkhawatirkan.

Merapi di Mata Kamera



Sudah tidak pelik lagi mitos yang beredar di tengah masyarakat Yogyakarta, bahkan masyarakat Indonesia, tentang misteri Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat Kabupaten Sleman, terutama yang tinggal di dekat Gunung Merapi, mempercayai tentang adanya tempat-tempat yang sakral yang dijaga oleh makhluk halus dan mempunyai kekuatan gaib yang harus dihormati. Menurut mereka, bagian yang paling sakral adalah kawah Gunung Merapi yang dianggap sebagai istana atau pusat keraton makhluk halus. Kepercayaan yang semakin menyebar ini menarik ‘mata kamera’ untuk mengabadikan momen-momen dari Gunung Merapi.

Keramat adalah salah satu judul film yang mengusung latar lereng Gunung Merapi di dalamnya. Film ini bercerita tentang kru behind the scene (BTS) “Menari di Atas Angin” yang meliput pra-shooting  film di Yogyakarta. Singkat cerita, salah satu kru dirasuki oleh roh yang menghuni tempat mereka menginap. Hal tersebut berakibat rusaknya jadwal latihan untuk shooting. Demi mencari salah satu kru yang hilang dibawa roh halus (keterangan dari paranormal), mereka harus bertualang ke berbagai tempat mistis, seperti Pantai Parangtritis, sebuah candi, dan hutan angker. Di tengah pencarian, kematian telah merenggut nyawa lima kru yang tidak menaati pantangan. Tersisa tiga kru yang berhasil selamat dan tanpa disadari berada di lereng Merapi. Dalam film ini, Merapi muncul di bagian akhir dengan latar suasana yang menegangkan. Merapi seakan menjadi gerbang penghubung antara dunia gaib dan dunia manusia.

Tidak asing lagi dengan iklan minuman suplemen, dengan tagline “Rosa-rosa!!!”, yang mencoba menarik perhatian konsumen dengan hadirnya Alm. Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi, sebagai salah satu ikon dari iklan tersebut. Dalam iklan tersebut, Mbah Maridjan berakting mengangkat tangan dengan membawa gelas dan mengatakan “rosa-rosa”. Iklan tersebut ber-setting di lereng Gunung Merapi. Meskipun lebih banyak menyorot Mbah Maridjan, Gunung Merapi tetap menjadi objek yang tidak mungkin terlepaskan dari kehadiran Mbah Maridjan sebagai kuncen-nya. Iklan ini lebih memperlihatkan keindahan Gunung Merapi sebagai gunung paling berbahaya di Indonesia.

Ada lagi iklan dari minuman suplemen lain yang juga cukup terkenal dengan gambar “kepalan tangan”. Gunung Merapi menjadi latar belakang dari iklan ini. Semangat untuk mengasah nyali di gunung paling berbahaya di Indonesia menjadi tema iklan ini. Merapi muncul di bagian akhir dalam keadaan mengeluarkan wedhus gembel yang seakan menunjukkan ‘keperkasaannya’ dan tidak ada yang bisa melawan. (LP)

Pranata Mangsa : Warisan Pengetahuan Masa Lalu


Sebelum gagasan untuk membuat Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika muncul, sebelum institusi-institusi di bidang pertanian dibangun, dan sebelum biro konsultasi pernikahan serta biro konsultasi bisnis didirikan, masyarakat Jawa sudah lebih dulu paham akan perhitungan musim dan waktu yang tepat untuk melakukan aktivitas tertentu.

Teknologi mutakhir terkait tata cara penghitungan musim yang dimiliki oleh masyarakat Jawa dikenal dengan Pranata Mangsa. Pranata mangsa berasal dari bahasa Jawa. Pranata artinya tatacara atau prosedur, sedangkan mangsa berarti musim. Pada masa Kerajaan Mataram, Sultan Agung berhasil menggabungkan metode perhitungan kalender Islam dan Jawa (Hindu). Kalender Jawa tersebut berisikan Pawukon dan pranata Mangsa. Pawukon berisi tentang perwatakan manusia, hari-hari yang baik untuk berdagang, memulai usaha, mantu (hari pernikahan), boyongan (pindah rumah), waktu melakukan tirakat juga hari-hari pantangan atau walang sanger, taliwangke, samparwangke, sarik agung, dhendhan kukudan, dan lain sebagainya. Pranata mangsa dipergunakan untuk menentukan waktu memulai tandur (menanam padi), menuai padi, dan menanam palawija.

Sistem ramalan memang telah dikenal oleh sejumlah negara di belahan dunia. Akan tetapi, Pranata Mangsa yang dimiliki orang Jawa kerap dipandang lebih jenius dan mendalam. Dalam buku “Penanggalan Pertanian Jawa Pranata Mangsa”, N. Daldjoeni menyebutkan bahwa Pranata Mangsa adalah sebuah sistem peramalan sebagai hasil pemikiran yang canggih dan brilian. Bahkan melebihi sistem yang dibuat oleh bangsa Burma, Cina, Maya, dan Mesir Kuno, serta sistem Farming Almanac Amerika, Pranata Mangsa sudah lebih maju dan kompleks.

Pranata Mangsa didasarkan pada pengalaman yang didapat dan diamati selama ribuan tahun. Mereka menghafalkan pola musim, iklim dan fenomena alam yang datang silih berganti. Dan salah satu tujuan dari Pranata Mangsa adalah mengurangi resiko dan meminimalisir biaya produksi. Peramalan cuaca tradisional hanya bersifat lokal, seperti Pranata Mangsa hanya berlaku untuk masyarakat Jawa. Sedangkan untuk masyarakat atau suku bangsa lain mempunyai cara dan sistem sendiri untuk meramalkan cuaca. Seperti Palontara di Sulawesi, Kala di Sunda, Porhalan di Batak dan Wariga di Bali. 

Sekarang Pranata Mangsa, sudah jarang digunakan masyarakat Jawa. Bahkan mulai dilupakan dan ditinggalkan. Karena dianggap sudah tidak sesuai dengan iklim yang sekarang tidak menentu akibat pemanasan global, efek rumah kaca dan degradasi lingkungan. Seiring dengan kemajuan IPTEK, ramalan cuaca berdasarkan ahli meteorologi pun dapat digunakan. Namun, karena ramalan cuaca modern masih bersifat global terhadap cuaca di daerah subtropis. Sementara ramalan cuaca tradisional lebih spesifik terhadap bidang pertanian, perikanan, banjir atau kekeringan. Sebagai generasi muda yang mempunyai kewajiban menjaga dan melestarikan kebudayaan, harus mempunyai inovasi-inovasi agar hasil kebudayaan tidak dilupakan. Salah satunya adalah dengan memadukan ramalan cuaca modern dengan ramalan cuaca tradisional (Pranata Mangsa).

Anomali Cuaca dan Musim Tanam


Menyebar benih ditengah cuaca yang tak tentu
Jika ada orang yang berpendapat "jaman saiki jaman edan", tentulah benar. Tak hanya pola perilaku manusia namun musim pun dapat berubah. Seperti halnya musim di Indonesia yang menyebabkan berubahnya pula musim tanam di Indonesia. Para petani biasanya melihat perubahan musim dari rasi bintang pun sekarang sudah berubah. Rasi bintang sudah tidak akurat lagi. Padahal pada zaman dahulu, dengan melihat bintang saja para petani sudah bisa memprediksi musim tanam. Saat ini musim sudah bercampur, hujan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan.

Sehingga masa tanam pun membingungkan. Perubahan cuaca yang tak menentu inilah yang biasa disebut Anomali (penyimpangan) cuaca. Anomali cuaca ini sulit diperkirakan, tidak hanya mengakibatkan puso atau gagal panen, tetapi juga memaksa petani menanam ulang padi karena terjangan banjir atau kekeringan.

Sama seperti yang terjadi di Klaten, Madubranta berhasil mewawancarai pak Trisno Tiyoso salah satu petani yang ada disana. Beliau menganggap bahwa dengan adanya anomali cuaca, itu merupaka sebuah ujian untuk naluri pertaniannya. Pak Trisno menganggap bahwa ilmu yang ia peroleh turun temurun tentang pertanian sudah cukup untuk mengatasi anomali cuaca ini.

Curah hujan di setiap tempat berbeda-beda, di Klaten biasanya musim tanam (MT) tanaman padi harus dimulai pada bulan Oktober, sehingga pada bulan Desember bisa dipanen. Sedangkan musim tanam kedua, kata dia, harus dimulai pada bulan Maret. Musim tanam satu dan dua biasanya para petani perlu pintar menyiasati pengairan air di sawah. Tidak seperti pada musim tanam tiga dimana petani tidak terlalu membutuhkan air karena hanya menanam palawija.

Astrologi Jawa

Astrolologi menghubungkan manusia dan semesta
Ternyata, tidak hanya Orang Barat saja yang mempunyai teori perbintangan atau yang disebut astrologi. Orang Indonesia, khususnya Orang Jawa, juga mempunyai teori tersebut yang dikenal dengan Astrologi Jawa. Masyarakat Jawa yang mempercayai teori tentang perbintangan ini disebut masyarakat kejawen. Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap ramalan perbintangan semakin kuat karena sering terbukti kebenarannya. Mulai dari ramalan usaha, kesehatan, karir, sampai jodoh.

Pada intinya, astrologi Jawa merupakan pengetahuan untuk meramalkan karakter dan perjalanan hidup seseorang atau garis nasibnya dengan kegiatan dalam kehidupannya yang berpedoman pada weton atau ‘tanggal lahir’. Meskipun tidak diketahui secara pasti siapa penemu teori astrologi Jawa, kepercayaan masyarakat Jawa terhadap teori ini tidak pernah luntur. Bahkan, mereka tetap percaya seutuhnya.
Sama halnya dengan astrologi Barat, Astrologi Jawa juga memiliki ramalan zodiak tersendiri. Berikut bentuk-bentuk ramalan zodiak untuk pekerjaan/karir sesuai dengan tanggal lahir.

·         Mangsa Kaso (23 Juni – 2 Agustus)
Cenderung memiliki kecocokan dengan semua jenis pekerjaan. Orang-orang yang ber-mangsa atau ‘berzodiak’ Mangsa Kaso mempunyai kecepatan yang tinggi dalam beradaptasi. Pekerjaan yang cocok untuk si Mangsa Kaso adalah dokter, dosen, guru, dan pegawai kantoran.
·         Mangsa Karo (3 Agustus – 25 Agustus)
Orang-orang yang ber-mangsa Karo cukup sulit menemukan pekerjaan yang cocok. Si Mangsa Karo lebih sering berganti-ganti pekerjaan. Pekerjaan yang paling cocok untuknya adalah di bidang perdagangan.
·         Mangsa Katelu (26 Agustus – 18 September)
Pekerjaan yang cocok untuk si Mangsa Katelu adalah seniman dan pengarang. Dengan pekerjaan itu, orang-orang ber-mangsa Katelu akan bebas mengekspresikan imajinasinya.
·         Mangsa Kapat (19 September – 13 Oktober)
Si Mangsa Kapat termasuk orang yang beruntung dalam pekerjaan, karena mereka tidak sulit untuk mencari pekerjaan. Meskipun demikian, belum tentu pekerjaan yang didapat langsung cocok untuknya. Perlu dipertimbangkan lebih dulu sebelum membuat keputusan. Pekerjaan yang cocok untuk orang-orang ber-mangsa ini adalah arsitek dan desainer.
·         Mangsa Kalima (14 Oktober – 9 November)
Pekerjaan yang cocok untuk si Mangsa Kalima sebagai polisi, wartawan, dan dokter.
·         Mangsa Kanem (10 November – 22 Desember)
Orang-orang yang masuk dalam Mangsa Kanem cocok bekerja sebagai seniman dan kontraktor.
·         Mangsa Kapitu (23 Desember – 3 Februari)
Banyak sekali bidang pekerjaan yang dapat dijadikan profesi untuk si Mangsa Kapitu. Pada umumnya, semua bidang tersebut dapat ditekuni oleh orang yang lahir pada Mangsa Kapitu.
·         Mangsa Kawolu (4 Februari – 1 Maret)
Pekerjaan yang sangat cocok untuk orang ber-mangsa ini adalah sebagai ahli agama dan spiritual.
·         Mangsa Kasanga (2 Maret – 26 Maret)
Orang-orang yang ber-mangsa  ini cocok bekerja sebagai wartawan, pengarang, dan psikolog.
·         Mangsa Kadasa (27 Maret – 19 April)
Sesuai dengan karakternya yang mandiri, wiraswasta adalah bidang pekerjaan yang sangat cocok untuk si Mangsa Kadasa.
·         Mangsa Desta (20 April – 12 Mei)
Karir yang cocok untuk orang ber-mangsa ini adalah aktor, insinyur, dan pedagang.
·         Mangsa Saddha (13 Mei – 22 Juni)
Si Mangsa Saddha sangat cocok bekerja sebagai wartawan, penulis, dan pengarang. (LP)

Diolah dari berbagai sumber.

Pranata Mangsa

Sistem pranata mangsa

Seperti kebudayan-kebudayaan lain yang ada di dunia. Nenek moyang kita sudah lama menaruh perhatian pada benda-benda langit dan fenomena-fenomena alam. Pada masyarakat Jawa dikenal dengan istilah Pranata Mangsa, atau peramalan musim yang umumnya berhubungan dengan tata letak bintang di langit. Pranata mangsa berasal dari bahasa Jawa. Pranata artinya tatacara atau prosedur, sedangkan mangsa berarti musim. Pada masa Kerajaan Mataram, Sultan Agung berhasil menggabungkan metode perhitungan kalender Islam dan Jawa (Hindu). Kalender Jawa tersebut berisikan Pawukon dan pranata Mangsa. Pawukon berisi tentang perwatakan manusia, hari-hari yang baik untuk berdagang, memulai usaha, mantu (hari pernikahan), boyongan (pindah rumah), waktu melakukan tirakat juga hari-hari pantangan atau walang sanger, taliwangke, samparwangke, sarik agung, dhendhan kukudan, dan lain sebagainya. Pranata mangsa dipergunakan untuk menentukan waktu memulai tandur (menanam padi), menuai padi, dan menanam palawija.

Menurut Daldjoeni dalam bukunya “Penanggalan Pertanian Jawa Pranata Mangsa”, beliau menyebutkan bahwa Pranata Mangsa adalah sebuah sistem peramalan dan hasil pemikiran yang canggih dan brilian. Bahkan melebihi sistem yang dibuat oleh bangsa Mesir Kuno, Cina, Maya dan Burma, serta sistem Farming Almanac Amerika, Pranata Mangsa sudah lebih maju dan kompleks. Pranata Mangsa didasarkan pada pengalaman yang didapat dan diamati selama ribuan tahun. Mereka menghafalkan pola musim, iklim dan fenomena alam yang datang silih berganti. Dan salah satu tujuan dari Pranata Mangsa adalah mengurangi resiko dan meminimalisir biaya produksi.

Peramalan cuaca tradisional hanya bersifat lokal, seperti Pranata Mangsa hanya berlaku untuk masyarakat Jawa. Sedangkan untuk masyarakat atau suku bangsa lain mempunyai cara dan sistem sendiri untuk meramalkan cuaca. Seperti Palontara di Sulawesi, Kala di Sunda, Porhalan di Batak dan Wariga di Bali. 
Namun sekarang Pranata Mangsa, sudah jarang digunakan masyarakat Jawa. Bahkan mulai dilupakan dan ditinggalkan. Karena dianggap sudah tidak sesuai dengan iklim yang sekarang tidak menentu akibat pemanasan global, efek rumah kaca dan degradasi lingkungan. 

Seiring dengan kemajuan IPTEK, ramalan cuaca berdasarkan ahli meteorologi pun dapat digunakan. Namun, karena ramalan cuaca modern masih bersifat global terhadap cuaca di daerah subtropis. Sementara ramalan cuaca tradisional lebih spesifik terhadap bidang pertanian, perikanan, banjir atau kekeringan. Sebagai generasi muda yang mempunyai kewajiban menjaga dan melestarikan kebudayaan, harus mempunyai inovasi-inovasi agar hasil kebudayaan tidak dilupakan. Salah satunya adalah dengan memadukan ramalan cuaca modern dengan ramalan cuaca tradisional (Pranata Mangsa)

Candi Borobudur dan Seluk-beluknya


Candi borobudur tampak secara lanskapnya
Candi borobudur yang terletak di kabupaten Magelang, Yogyakarta, merupakan candi buddha terbesar di Indonesia. Lokasi candi ini berada diatas bukit kecil yang dikelilingi oleh pegunungan Menoreh, gunung Merapi, gungung Merbabu, gunung Sumbing dan gunung Sindoro. Berdasarkan tulisan yang terdapat pada bebapa batu di candi Borobudur, para ahli berpendapat bahwacandi ini dibangun sekitar tahun 780M, pada ma pemerintahan raja-raja wangsa sanjaya. Pembangunan tsebut baru selesai 830m, yaitu pada masa pemerintahan raja samaratungga dari wangsa syailendra. 

Pada tahun 950m, candi ini terkubur lava letusan gunung merapi dan baru ditemukan hampir seribu tahun kemudian, tahun 1814. Penemuan kembali borobudur adalah atas jasa Sir Thomas Stamford Raffles. Candi ini tidak mempunyai ruangan untuk tempat beribadah atau melakukan pemujaan. Luas dinding keseluruhan mencapai 1500m2, dihiasi 1469 panel relief yang masing-masing reliefnya memiliki lebar 2m. Jumlah arca Buddha mencapai 504buah. Arca tersebut menggambarkan Buddha dalam berbagasi sikap yang sarat dengan filosofi.

- Arca-arca disisi timur menggambarkan Dhyani Buddha Aksobhya
- Arca-arca disisi selatan menggambarkan Dhayni Buddha Ratnasambhawa
- Arca-arca disisi barat menggambarkan Dhyani Buddha Amithaba
- Arca-arca disisi utara menggambarkan Dhyani Buddha Amogasidhi
- Arca-arca di puncak menggambarkan Dhyani Buddha vairosyana

- Arca-arca di undakan lingkaran menggambarkan Dhyani Buddha Vaiosyana

Pada saat itu belum ada teknologi angkat dan pemindahan material berat yang memadai. Diperkirakan menggunakan metode mekanik sederhana. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan. Tidak ada informasi yang akurat. Namun beberapa sumber menyebutkan bahwa candi Borobudur dibangun mulai 824 M – 847 M. Ada referensi lain yang menyebut bahwa candi dibangun dari 750 M hingga 842 M atau 92 tahun. Pembangunan candi dilakukan bertahap. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak. tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar.

Tahap kedua, pondasi Borobudur diperlebar, ditambah dengan dua undak persegi dan satu undak lingkaran yang langsung diberikan stupa induk besar. Tahap ketiga, undak atas lingkaran dengan stupa induk besar dibongkar dan dihilangkan dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa dibangun pada puncak undak-undak ini dengan satu stupa besar di tengahnya.Tahap keempat, ada perubahan kecil, yakni pembuatan relief perubahan pada tangga dan pembuatan lengkung di atas pintu.


Candi borobudur memiliki tiga tingkatan yang menggambarkan tingkatan hidup manusia. Kaki candi disebut Kamadhatu, melambangkan kehidupan fana yang masih dipenuhi hawa nafsu. Lalu tingkatan berikutnya disebut rupadhatu yang berarti dunia rupa. Dan yang terakhir adalah arupadhatu yang berarti dunia tanpa rupa (wujud), pada tahapan ini manisia sudah terlepas dari hasrat dan hawa nafsu. Candi ini telah beberapa kali mengalami pemugaran. Pemugaran pertama dilakukan pada masa kolonial Belanda, tahun 1907-1910 dibawah pimpinan Van Erp. Pemugaran kedua berlangsung selama sepuluh tahun dari tahun 1972-1983.



Pembuatan Candi

Teknik menyambung batu dalam pembuatan candi
Orang yang memprakasai untuk membuat candi disebut Yajamana. Yaamana harus menghubungi Maha Brahmana dengan para pekerjanya yang disebut Silpin. Lalu mereka harus mencari tempat yang dirasa pas untuk membangun monumen suci ini, dan biasanya tempat yang dekat dengan air atau lebih bagus lagi jika lokasinya di dekat pertemuan dua sungai (tempuran). Selain itu ada beberapa lahan terlarang untuk lokasi candi, misalnya tanah bekas pembakaran mayat, tanah berpasir, tanah berbatu, dan tanah rawa. Setelah kira-kita ketemu, lahan masih harus menjalani beberapa tahap pemeriksaan.

Tahap pertama, pemeriksaan tanah yang disebut juga Bhupariksa. Tahap ini bisa melalui dua cara, cara magis atau dengan cara biasa. Jika melalui cara biasa, yang pertama di periksa adalah kepadatan tanahnya. Ada berbagai macam cara. Cara yang pertama, tanah digali lalu diisi air dan dibiarkan selama 24 jam. Esok harinya diperiksa kembali, jika air terserap habis atau hanya tersisa sedikit artinya tanah tersebut tidak baik karena terlalu gembur. Jika air berkurangn hanya sedikit, itu berartintanah itu juga tidak baik. Tanah yang paling baik adalah tanah yang airnya tersisa setengah. Selain lewat cara ini, cara lain untuk memeriksa kepadatan tanah adalah dengan menggali lalu diurug lagi. Kalo setelah diurug tanahnya terlalu sedikit maka artinya tanah itu tidak bagus, begitu juga jika tanahnya berlebihan, jadi harus sama rata.

Lalu memasuki tahap kedua. Di tahap ini yang di uji adalah kandungan gas tanah. Caranya? Pada malam hari clupak (pelita dari tanah liat) diletakkan di atas tanah yang dimaksud. Jika pada saat api dinyalakan langsung padam, artinya tanah tersebut tidak baik karena banyak mengandung gas beracun. Namun jika api menyala tapi mengarah ke selatan juga tidak baik karena selatan adalah arah dewa kematian (Dewa Yama). Yang paling bagus adalah jika api tersebut menyala tegak lurus.

Tahap yang ketiga menguji kesuburan tanah. Tanah diairi, dicangkul, dibajak, lalu ditaburi benih. Seandainya benih itu berhasil tumbuh dalam waktu 1-2 hari maka tanah ini adalah tanah brahmana (kualitas nomor wahid). Jika benih berhasil tumbuh dalam waktu 3-4 hari disebut tanah ksatria. Namun jika tumbuh dalam waktu 5-6 hari disebut tanah waisya.  Dan yang terakhir, jika benih tersebut tumbuh lebih dari 7 hari maka disebut tanah sudra yang lebih baik tidak perlu dipakai. Tes ini dilanjutkan dengan menguji warna dan bau tanah. Tanah Brahmana biasanya berwarna seperti mutiara dan berbau harum sementara tanah ksatria berwarna merah dan berbau darah. Tanah waisya berwarna kuning keemasan, dan tanah sudra berwarna gelap atau kelabu.

Setelah bhupariksa selesai dilakukan, saatnya membangun candi. Lahan yang dipilih dibatasi dengan benang putih berbentuk persegi dengan garis diagonal yang juga ditandai dengan benang. Sehingga dapat titik tengah yang disebut Brahmasthana, yang berarti ‘tempat bersemayamnya Dewa Brahma.’ setelah itu dibuatlah kotak-kotak atau grid. Sistem pengkotakan ini disebut Vastupurusa Mandala, dimana masing-masing kotak terdiri dari satu nama dewa. Lalu, titik tengah tempat bersemayamnya Dewa Brahma tadi digali 1x1 meter dan didasarnya diletakkan peripih (Garbhapatra) yang berisi benda-benda perlambang panca maha bhuta (lima unsur alam), yaitu akasa, tanah, air, api, dan angin. Simbol-simbol yang digunakan dapat berupa biji, benang, kertas emas (biasanya bertuliskan mantra atau nama dewa), cermin perunggu, dan tulang hewan Untuk unsur api biasanya diwakilkan oleh abu, karena itu ahli-ahli Belanda zaman dulu mengidentikkan candi dengan makam. Pendapat ini ditentang oleh arkeolog Indonesia yang bernama R. Soekmono. 

Diatas titik tengah inilah biasanya dibangun candi induk, tapi ada banyak candi di Indonesia yang tidak menerapkan aturan ini. Tapi ada teknik penyusunan batu maupun bata yang khas dari candi. Untuk candi berbahan bata tekniknya lebih sederhana. Bata digosokkan satu sama lain sampai tercipta bubuk yang dapat berperan seperti semen lalu diperciki dengan air.

Candi yang menggunakan batu lebih rumit karena batu-batu tersebut disambung-sambung satu sama lain. Ada banyak teknik sambungan batu yang kita kenal, salah satunya teknik sambungan batu langsung. Caranya? Satu batu di salah satu permukaannya dibuat sebuah tonjolan, dan di batu lain di buat semacam ‘lembah’ yang cocok dengan batu satunya lagi. Ada juga sambungan batu pengunci. Di teknik ini, batu yang akan dipasang tidak dikaitkan satu sama lain seperti pada teknik yang pertama, melainkan lewat bantuan batu pengunci di tengah-tengah kedua batu itu.