Social Icons

Pages

Kamis, 28 Juni 2012

Sejarah Madubranta

FIB-UI tempat kelahiran Madubranta
Madubranta adalah media informasi dan pengetahuan budaya Jawa. Madubranta digagas pertama kali oleh Rizky Ramadhani dan Wahyu Zuli Firmanto dibantu Akbar Priyono, Titi Winarsih Utami, Julian Pradhitya, Asti Diautami, Rara Indah Nova Nindyah, Andra Hidayat, dan Dwi Rahmawanto. Media yang lahir tanggal 16 November tahun 2011 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia ini, awalnya muncul dalam format buletin cetak dengan ukuran 4 halaman A5.

Pada edisi pertama, Madubranta hanya memiliki empat rubrik dasar yakni wacanen, obrolan, acara kita, dan jare. Pada rubrik wacanen, Akbar menulis artikel dengan judul "Tentang Blangkon". Rubrik obrolan ditulis oleh Rizky dengan judul "Perpustakaan atau Starbucks? : dalam Bingkai Kebudayaan Jawa". Rizky juga mengisi rubrik acara kita dengan judul artikel "Pementasan Teater Wayang Lakon Narasoma". Sementara itu rubrik jare berisi tanggapan langsung beberapa mahasiswa di UI terkait perpustakaan UI yang "tanpa nama" ketika itu.

Setelah artikel terkumpul, keseluruhan artikel tersebut langsung disunting oleh Titi Winarsih Utami sebagai penyunting usai kuliah kebudayaan Indonesia di ruang Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Titi awalnya menawarkan diri untuk menjadi penyunting di buletin Madubranta. Usai disunting, Wahyu, yang juga penggagas Madubranta sekaligus orang satu-satunya yang menguasai desain grafis, melakukan penataan letak sebelum dicetak secara massal oleh Julian.

Selesai ditata, akhirnya buletin Madubranta edisi pertama itupun di-print di Kopma FIB-UI baru kemudian di fotokopi sebanyak 100 eksemplar di Fotokopian Gedung 1 FIB-UI. Rara dan Galuh berperan sebagai distributor. Saat itu tepat hari Rabu, 16 November 2011, buletin Madubranta pun dibagi-bagikan secara gratis di kampus UI. Asti dan Dwi juga turut membantu, sementara itu Andra sebagai fotografer, belum berperan karena pada edisi pertama Madubranta tidak menggunakan foto jepretannya.

Kehadirannya di kampus UI Depok disambut kontroversial terutama oleh mahasiswa senior, alumni, bahkan dosen dari jurusan Sastra Jawa. Munculnya kontroversi itu lantaran kehadirannya yang mengejutkan tanpa pemberitahuan kepada organisasi KMSJ (Keluarga Mahasiswa Sastra Jawa). KMSJ sebenarnya telah memiliki wadah jurnalistik yaitu majalah Uthana. Majalah Uthana, selaku wadah jurnalistik yang hampir serupa, telah lama ada meskipun keadaannya yang carut-marut belakangan ini. Sementara itu Madubranta lahir tanpa izin dari siapa pun namun mengatasnamakan dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Padahal Madubranta justru mengaku sebagai buletin yang independen.

Rizky sebagai penanggung jawab buletin yang baru saja terbit itu, langsung dipanggil oleh ketua KMSJ, Arif Budiman untuk dimintai keterangan atas hal tersebut. Senior yang lain juga beberapa kali mempertanyakan kehadiran Madubranta, bahkan beberapa menolak kehadiran Madubranta secara halus. Madubranta justru ditawarkan untuk bergabung di KMSJ. Tawaran itu selalu ditolak oleh para anggotanya.

Meskipun, banyak yang menolak, beberapa saran dan pujian juga diterima oleh Madubranta. Edisi pertama menurut beberapa orang dianggap cukup kritis terhadap keadaan lingkungan kampus. Madubranta juga mendapat saran untuk memperbaiki kualitas cetak dan penggunaan tema di setiap edisinya. Maklum, pada terbitan pertama, Madubranta lahir tanpa tema dan struktur yang jelas. (RR)

Sabtu, 23 Juni 2012

Dina kang Wingit ing Masyarakat Jawa

Kalender sing isih migunakake tanggalan Jawa
Dina ing masyarakat Jawa kuwi dadi sawijining babagan sing ora kena dianggap sepele. Masyarakat Jawa anggone ngleksanakake upacara utawa ritual mesthi ora ucul saka sing jenenge petungan dina. Masyarakat Jawa duweni adat yen ora manut karo dina anggone nglakoni upacara utawa ritual bakal kena warih.

Tuladhane yen nalika dina-dina ing sasi Sura iku masyarakat Jawa ora kena nganakake gawe. Dadi arep duwe gawe mantu utawa sepitan lan liya-liyane ora kena ing dina-dina nalika sasi Sura. Tuladhane maneh yen dina malem selasa kliwon utawa jumuah kliwon kanggo masyarakat Jawa kudu njamasi pusaka kanggo sapa wae sing duwe. 

Jumuah kliwon kanggo masyarakat Jawa uga dadi dina sing becik kanggo nyekar utawa nganakake gugur gunung kanggo ngresiki jaratan. Liyane kuwi isih akeh maneh dina-dina sing wingit king masyarakat Jawa.
Mula kuwi masyarakat Jawa banget wigatine ing dina-dina kaya mengkono mau (BRI)

Sajen Langkahan


Menyerahkan sajen langkahan

      Ternyata tidak semua sajen selalu identik dengan bunga beranekaragam dan asap dupa. Salah satunya adalah sajen langkahan yang terdapat dalam upacara langkahan.

     Upacara langkahan dilakukan apabila mempelai wanita menikah sebelum kakaknya menikah (nglangkahi). Dalam upacara ini calon mempelai wanita harus menyiapkan sajen yang disebut sajen langkahan. Sajen tersebut terdiri dari dua baki. Baki pertama berisi gedhang ayu (pisang raja sesisir), suruh ayu (daun sirih dengan ruas daun yang bertemu atau sama). Keunikan dari sajen ini ada pada baki kedua, karena baki kedua berisi seperangkat pakaian dan barang-barang yang diminta oleh kakak mempelai wanita.

     Contohnya ketika pernikahan Gusti Kanjeng Ratu Bendara, putri dari Sri Sultan Hamengku Buwana X. Ia memberikan sajen langkahan sesuai permintaan sang kakak berupa seperangkat pakaian, perhiasan, dan tas. Bisa dibayangkan bila saat ini kakak para mempelai wanita meminta handphone, laptop, terlebih mobil mewah sebagai sajen langkahan.  

     Akan tetapi, apapun bentuk dari sajen, tujuannya tetap sama. Sajen sebagai emosi keagamaan atau religi manusia yang dituangkan dalam wujud benda, bertujuan agar terhindar dari marabahaya hingga akhirnya mengantarkan manusia pada keselamatan. (RN)

Islam Santri dan Kejawen


Bersemedi, salah satu ritual yang kerap dilaksanakan orang Kejawen
Agama Islam orang Jawa dibagi menjadi dua, yang pertama bersifat Sinkretis dan Agama Islam Puritan. Agama Islam Jawa yang bersifat sinkretis adalah agama yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu dan Islam. Sedangkan Agama Islam Puritan adalah agama yang memang sama dengan ajaran agama Islam pada umumnya.
Varian dari agama Islam Jawa adalah Agami Jawi atau Kejawen. Pada buku Kebudayaan Jawa karangan Koentjaranigrat, kejawen adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama Islam. Penganut agami jawi ini termasuk dalam agama Islam. Walaupun demikian, pada umumnya penganut kejawen tidak menjalankan kelima rukun Islam secara serius. Misalnya, tidak sembahyang lima waktu, tidak melakukan sholat Jumat, seringkali tidak memperdulikan pantangan makanan haram, dan banyak pula dari penganut agama ini yang tidak berkeinginan untuk naik haji. Namun penganut kejawen masih taat melakukan ibadah puasa dalam bulan Ramadhan.
Berbeda sekali dengan penganut agama Islam Puritan atau Islam Santri yang sangat taat dengan ajaran agama Islam dan melaksanakan lima rukun Islam. Walaupun masih ada campuran dari unsur-unsur animisme dan unsur-unsur Hindu-Budha, namun ajaran pada Islam Santri lebih dekat kepada dogma-dogma ajaran Islam yang sebenarnya.
Pada awalnya Islam masuk ke daerah pesisir dan kota-kota pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa kemudian menyebar sepanjang pantai timur-laut pulau Jawa. Agama Islam di Jawa diajarkan oleh para Wali dalam pondhok-pondhok pesantren. Ada orang Jawa yang menyerap agama Islam sepenuhnya, namun ada pula yang tidak menyerap ajaran sepenuhnya dan mencampur dengan kepercayaan yang dianut sebelumnya. Sehingga penganut agama Islam Santri dan Jawi tersebar di berbagai daerah di Jawa. Penganut dari agama Islam santri biasanya tersebar di daerah pesisir Jawa, Surabaya dan daerah pantai Utara. Sedangkan penganut agama Jawi lebih dominan berada di pedalaman Jawa Tengah, Bagelan dan Mancanegari. (PDS)

Kepercayaan Masyarakat Jawa


Wali Sanga, tokoh sentral persebaran Islam di tanah Jawa
Awal mulanya masyarakat Jawa adalah penganut dinamisme dan animisme. Hal itu terjadi jauh sebelum Hindu – Buddha masuk ke daratan Jawa. Penganut animisme percaya bahwa mereka dilindungi oleh dewa-dewa dan roh nenek moyang. Sedangkan penganut dinamisme percaya bahwa setiap benda, pohon ataupun seuatu tempat memiliki roh penunggu.
            Pada abad ke 4 masehi agama Hindu mulai masuk di pulau Jawa. Hal ini dibuktikan oleh sebuah prasasti yang ditemukan di tepi sungai Cisadane. Dalam prasasti tersebut disebutkan suatu deskripsi mengenai beberapa upacara yang dilakukan oleh seorang raja. Raja tersebut adalah orang pribumi yang memakai nama Hindu, sehingga disimpulkan bahwa ia adalah penganut agama Hindu. Lalu pada abad ke 11 masehi, kerajaan Kediri menganut agama Syiwa-Buddha, yang merupakan sinkretisme agama Syiwa dan Buddha Tantra.
Penyebaran agama Islam di pulau jawa terjadi dalam abad 15 dan abad 16. Dalam waktu singkat Islam diterima hangat oleh masyarakat jawa. Namun meluasnya agama Islam ke daerah pedalaman Jawa memang berjalan lambat dan tidak sepenuhnya dianut. Banyak pula masyarakat yang menerima agama Islam dan mencampurkannya dengan budayanya sendiri sehingga di Jawa terdapat dua macam penganut agama Islam yaitu Islam Santri dan Islam Jawi atau sering dikenal dengan Kejawen. Sekarang, agama yang dianut oleh masyarakat Jawa adalah Islam, Hindu, Buddha, Katolik, dan Protestan. (PDS)

Ngapak : Basa saka Jawa Tengah


Salah sawijining sarana iklan sing nganggo basa Jawa ngapak
Ngapak, sapa wonge sing ora ngerti bahasa kuwi. Bahasa iki salahsawijing bahasa khas saka tlatah Jawa Tengah. Kabeh sing urip lan dumunung ing Jawa Tengah mesthine tau krungu bahasa iki, malah-malah ana sing bisa nganggo bahasa iki. 

Bahasa ngapak adate digunakake dening wong-wong sing manggon ing daerah Jawa Tengah ing sakulone kutha Purworejo. Kaya dene kutha Banyumas, Cilacap, Tegal, Kebumen, Gombong lan liya-liyane. Bahasa iki dadi bahasa kang mligi digunakake dening masyarakat ing kono. Bahasa iki pancen beda karo adate bahasa jawa sing digunakake ana ing dina-dina saben dina. Adate bahasa jawa sing baku kuwi nganggo bahasa jawa cara Sala utawa Ngayogyakarta. 

Yen dirungokake bahasa ngapak iku pancen nganeh-anehi. Anggone ngucapake tembung plek karo tata tulisane. Diwaca apa anane lan ora ngowahi swara pocapan yen dipocapke. Tuladhane nalika ngcapake huruf “A” ya bener-bener diwaca huruf “A” beda karo bahasa jawa adat Sala utawa Ngayogyakarta sing huruf “A” bisa owah dadi huruf “O”. Medhok-medhoke bahasa iki ya pancen katon beda karo bahasa jawa ing saben dinane.

Adate bahasa jawa ngapak kuwi kabagi dadi telung cara yaiku ngapak cara Banyumasan, ngapak cara Tegal lan ngapak cara Kebumenan. Antarane telung bahasa kuwi uga ana bedane. Tembung sing ana nang ngapak Banyumasan ora ana ing ngapak Tegal lan Kebumenan. Tembung sing ana nang ngapak Tegal uga ana ing ngapak Banyumasan nanging ora ana ing ngapak Kebumenan. Tuladhane tembung “inyong” anan ing ngapak Banyumasan nanging during mesthi ana ing Tegal lan Kebumen. (BRI)