Oleh, Rini Dwi Rahayu, Mahasiswa Sastra Jawa UI
Mengenal Ki Manteb Sudharsono
Sosok Ki Manteb Sudharsono |
Siapa
yang tak mengenal Ki Manteb Sudharsono, dalang wayang kulit yang satu ini
mendapat julukan dalang setan. Julukan itu diberikan karena kehebatannya dalam
memainkan para tokoh wayang (sabetan). Ki Manteb Sudarsono memang memiliki
darah seni dan bakat du dunia pedalangan. Pria kelahiran Selasa Legi, 31
Agustus 1948 di Dukuh Jatimalang, Kelurahan Palur, Kecamantan Mojolaban, Sukoharjo,
Jawa Tengah ini dibesarkan di tengah keluarga dalang.
Kakeknya yang bernama
Dalang Tus adalah seorang dalang kondang, dan ayahnya, Ki Hardjo Brahim
Hardjowijoyo juga seorang dalang yang pada masa kejayaannya cukup disegani,
sedangkan ibunya adalah pesinden dan pengrawit yang berpengalaman. Sejak kecil
Ki Manteb Soedharsono sangat rajin dan tekun mengikuti pementasan orang tuanya.
Pengalaman masa kecilnya akrab dengan seluk-beluk dunia pewayangan telah membentuk
pribadi Ki Manteb kaya akan memori dunia pertunjukan wayang kulit. Kedisiplinan
sang ayah dalam mendidiknya, menjadikan kemampuan dan keterampilan Ki Manteb
kecil terus berkembang. Selain mendalang, Ki Manteb juga trampil dalam
memainkan instrumen gamelan dan bahkan menatah wayang kulit.
Dalam
meningkatkan ketrampilannya, Ki Manteb banyak belajar kepada para dalang
senior. Ia belajar dari dalang legendaris Ki Narto Sabdo yang mahir dalam seni
dramatisasi pada tahun 1972, dan dari Ki Sudarman Gondodarsono yang ahli sabet
(seni menggerakkan wayang) pada tahun 1974. Pada tahun 1982, berkat gemblengan
dari dua dalang senior itu dan sang ayah, Ki Manteb berhasil menjuarai
Pakeliran Padat se-Surakarta. Seorang promotor bernama Soedharko Prawiroyudo
menawarkan Ki Manteb untuk tampil dalam pergelaran rutin Banjaran Bima di
Jakarta. Pergelaran tersebut diselenggarakan setiap bulan sebanyak 12 episode
sejak kelahiran sampai kematian Bima, tokoh Pandawa. Pergelaran itulah yang
kemudian membuat nama Ki Manteb sebagai seniman tingkat nasional mulai
diperhitungkan publik.
Julukan
dalang setan diberikan pertama kali pada tahun 1987 oleh mantan menteri
penerangan Boedihardjo, seusai menyaksikan Ki Manteb mendalang. Julukan itu
sebagai bentuk kekaguman Boedihardjo terhadap sabetan (cara menggerakkan wayang
kulit) yang dimiliki Ki Manteb. Ki Manteb bisa memainkan beberapa wayang
sekaligus, dengan gerakan secara cepat dan berputar-putar dalam lakon
peperangan yang luar biasa mencengangkan. Bagi penikmat wayang, gerakan-gerakan
tersebut dianggap luar biasa dan tidak bisa dilakukan oleh sembarang dalang.
Dalang Berprestasi
Khusyuk meski telah lewat tengah malam |
Banyak
prestasi yang telah diraih Ki Manteb, ia sering mendalang di luar negeri
seperti di Amerika Serikat, Spanyol, Jerman, Jepang, Suriname, Belanda, Perancis,
Belgia, Hongaria dan Austria. Pada tahun 1995, ia mendapat penghargaan dari
Presiden Soeharto berupa Satya Lencana Kebudayaan.
Kemudian pada tahun 2004, Ki
Manteb memecahkan rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) karena kegemilangannya
mendalang selama 24 jam 28 menit tanpa istirahat pada acara Ultah RRI Semarang.
Tidak hanya di dalam negeri, Ki manteb juga menerima penghargaan di luar
negeri, pada 19 Mei 2010, Ki Manteb menerima penghargaan budaya dari Nikkei
Asia Prize, sebuah penghargaan dari penerbitan koran terbesar di Tokyo, Nihon
Keiza Shimbun (Nikkei). Nikkei melihat dedikasi Ki Manteb yang sangat besar
dalam melestarikan dan menekuni wayang kulit. Ki Manteb juga mampu menyebarkan
dan menyajikan pertunjukan wayang yang memukau masyarakat tidak hanya di
Indonesia namun juga di berbagai belahan dunia.
Ki Manteb
Sudharsono bersama Senawangi, dan Pepadi sangat berperan dalam pengakuan wayang
sebagai warisan budaya dunia. Pada 7 November 2003 Ki Manteb mendapat
kehormatan untuk menampilkan pergelaran wayang kulit di Markas UNESCO di Paris
hanya dalam waktu tiga menit hingga wayang mendapat penghargaan dari UNESCO
sebagai World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. Pengajuan
wayang sebagai warisan budaya dunia menurut Ki Manteb mula-mula berawal pada 2001 Unesco hendak memberikan penghargaan master piece
untuk berbagai produk kebudayaan dari beberapa Negara, saat itu Indonesia belum berniat maju.
Setelah penghargaan pertama diberikan kepada kelompok teater dari Jepang, mata
kita baru terbuka. Kebetulan Unesco mendesak, sehingga pemerintah kemudian berpikir kira-kira
produk budaya apa yang bisa diajukan untuk 2003. Penilaian yang dilakukan Unesco mencakup banyak sisi antara lain dari
sisi estetika atau keindahan. Ada juga unsur orisinalitas. Itu berarti produk
budaya yang dimaksud harus benar-benar ada di Indonesia saja, tidak duplikasi
dengan budaya lain. Selain itu dinilai juga kandungan-kandungan lain, dan wayang dianggap memiliki
semua sisi penilaian tersebut.
Pada saat itu ada 128 negara yang mengikuti dan yang berhasil
masuk penilaian tahap kedua hanya 68 negara. Lalu dipilih lagi dan hanya 24
negara yang berhak mendapatkan penghargaan. Ternyata di antara 24 negara itu
Indonesia lewat wayang purwa yang memenangi penghargaan Master Piece of The
Oral and Intangible of Humanity tersebut. Salah satu unsur membuat wayang
menang adalah kekentalan unsur filosofinya. Produk budaya dari negara lain,
tidak banyak yang mengandung unsur filsafat. Misalnya saat itu tim penilai
menanyakan kenapa ada adegan Dasamuka yang sudah terkena panah, sudah ditimpa gunung, kok tidak mati? Ki Manteb menjawab bahwa itu
perlambang nafsu manusia. Dasamuka itu nafsu, dan nafsu tidak akan hilang jika manusia masih menghamba. Nafsu akan mati kalau manusia
mati atau dunia kiamat.
Demikianlah perjalanan karier Ki Manteb
Sudharsono dan berbagai penghargaan yang diraihnya untuk mengharumkan nama
Indonesia di dalam dan di luar negeri. Maka kita patut bangga terhadap putra
bangsa yang dapat dijadikan inspirasi dan motivasi, terutama bagi kaum muda.
Sumber: diolah dari berbagai sumber
fundaysmile.blogspot.com/
Suara Merdeka
edisi 02 Mei 2004 dari wayangonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar