Social Icons

Pages

Senin, 26 Maret 2012

Peduli dengan Budaya Jawa?
Ayo Menulis di Madubranta!


Ayo menulis dan kirim tulisanmu ke madubranta@gmail.com
Silahkan pilih tema 5 edisi ke depan yang kamu suka :
  1.        Primbon (Batas pengumpulan 11 April 2011)
  2.      Tumpeng (Batas pengumpulan 25 April 2011)
  3.       Reog (Batas pengumpulan 9 Mei 2011)
  4.       Bahasa Jawa Ngapak ( Batas pengumpulan: 23 Mei 2011)
  5.       Kraton Cirebon (Batas pengumpulan 1 Agustus 2011)

Panjang tulisan 1 - 1,5 halaman A4, spasi 1,5, sesuai EYD, tidak mengandung SARA dan pornografi. Cantumkan nama, alamat, pekerjaan, nomor telepon, dan alamat email

Informasi lebih lanjut :
085693269890 Asti atau 085749030940 (Wahyu)
Twitter : @madubranta email: madubranta@gmail.com


Tentang Madubranta
Madubranta adalah media informasi dan pengetahuan budaya Jawa yang misi utamanya adalah mengembangkan dan melestarikan kebudayaan jawa. Dikelola oleh calon-calon sarjana humaniora UI secara independen. Telah menerbitkan buletin cetak dwimingguan dengan daya jangkau seluruh UI, Univ. Gunadarma, Perpustakaan Bogor, Univ.Pancasila, dan terus berkembang setiap terbitnya. Tidak hanya buletin cetak tapi juga elektronik di www.madubranta.media.je dan twitter @madubranta


Keuntungan Menulis di Madubranta

1.      Memperkenalkan dirimu sebagai penulis
2.      Promosi diri dan membuka peluang bisnis
3.      Menambah pengetahuan dan wawasan budaya Jawa
4.      Mendapat sertifikat sebagai tanda tulisan telah dimuat di madubranta cetak dan elektronik
5.      Mendapat biaya pengganti ketik Rp.5000 (hanya berlaku untuk tulisan terpilih yang dimuat di buletin cetak)

Selasa, 20 Maret 2012

Dukun Beserta Kemampuannya

Oleh Patrisia Devitasari, Mahasiawa FIB UI 2010
Ilustrasi dari admin2i2h.blogspot.com

Seperti Banyak kebudayan di dunia, ilmu gaib dan tenung juga terdapat pada kebudayaan orang Jawa. Di Indonesia, ilmu gaib sudah pasti identik dengan dukun. Menurut KBBI, dukun adalah orang yang mengobati, menolong orang sakit dan memberi jampi – jampi atau mantra. Di Indonesia dukun memiliki macam – macam julukan sesuai dengan pekerjaannya, dari mulai dukun beranak, dukun jampi, dukun japa, dukun klenik, dukun santet, dukun susuk dan dukun tenung.
Dalam buku Kebudayaan Jawa yang ditulis oleh Koentjaraningrat, dukun mempunyai arti yang sangat luas dan bisa berarti seorang yang ahli. Ada yang disebut dhukun petangan atau peramal yang menghitung saat – saat serta tanggal – tanggal yang baik dengan memperhatikan lima hari pasar, biasanya pedoman dari dukun ini adalah buku primbon. Sebutan dukun dalam kebudayaan Jawa bukan hanya untuk orang yang melakukan aktivitas ilmu gaib saja, orang yang membantu persalinan dinamakan dhukun bayi. Kebanyakan dhukun bayi adalah wanita.
Selain itu ada pula dhukun pijet (ahli pijat), dhukun calak (ahli sunat), dan dhukun paes (ahli merias pengantin). Ada beberapa dukun yang melakukan penyembuhan dan pengobatan dengan menggunakan sebuah mata uang logam yang disisipkan di bawah kulit si penderita, dukun seperti ini disebut dhukun susuk. Dukun yang menggunakan mantera dan memberikan berbagai macam jamu kepada pasien disebut  dhukun japa atau dhukun jampi. Dukun yang dapat mengundang roh orang yang sudah meninggal ke tubuh mereka disebut dhukun prewangan  atau dhukun tiban. Sedangkan dhukun sihir atau  dhukun tenung adalah dukun yang mempunyai ilmu hitam dan biasanya melayani orang – orang yang mempunyai maksud tidak baik seperti menyantet orang lain.
 Dukun yang berorientasi kepada agama Islam, mereka dinamakan dhukun santri. Pada umumnya dukun santri melakukan prakter sebagai dukun penyembuh penyakit, dukun ini biasanya menggunakan ayat – ayat suci dan mantera – manntera dalam bahasa Arab untuk melakukan kegiatan mereka. Walaupun begitu, terkadang dukun seperti ini masih menggunakan buku primbon.
Saat ini dukun sudah kalah pamor dengan dokter dan bidan, sehingga praktek dukun sudah jarang ditemui di kota – kota besar dan biasanya hanya ada di desa saja. Selain itu, seiring berkembangnya zaman, muncul jenis dukun baru yaitu dukun cabul. Dukun ini biasanya berkedok sebagai dukun sakti tapi sebenarnya malah melakukan tindak kriminalitas. Hal seperti itu pula yang membuat orang sudah tidak pergi ke dukun karena hilangnya rasa percaya kepada dukun.

Pandangan Masyarakat Modern terhadap Dukun


Ilustrasi dari http://www.rajapelet.com
Oleh Nur Indah Wuriani,
Mahasiswa FIB UI 2010    
            
              Bagi sebagian besar masyarakat, definisi “dukun” ialah seseorang yang memiliki ilmu hitam digunakan untuk mencelakai orang lain atau seseorang dengan pakaian hitam-hitam, rambut gondrong dan berbau kemenyan dengan kemampuan supranatural  melakukan hal-hal diluar nalar.
            Kata dukun mengalami proses peyorasi yaitu proses pergeseran makna kata dari yang baik menjadi buruk. Makna dukun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “orang yang mengobati, menolong orang sakit, memberi jampi-jampi (mantra, guna-guna, dsb)” . Namun, dalam perkembangannya pandangan masyarakat menyempit dan memburuk .
            Ada beberapa macam dukun dalam masyarakat, yaitu:
1.      Dukun Beranak: dukun yang membantu proses persalinan bayi.
2.      Dukun Jampi: dukun yang menggunakan ramuan tumbuhan alami untuk mengobati orang sakit.
3.      Dukun Japa: dukun yang mengandalkan mantra sebagai pengobatan.
4.      Dukun Klenik: dukun yang membuat dan memberi guna-guna atau kekuatan gaib lainnya.
5.      Dukun Santet: dukun yang mempunyai kemampuan menggunakan sihir kepada manusia.
6.      Dukun Siwer: dukun yang mempunyai kemampuan khusus untuk mencegah terjadinya kesialan oleh peristiwa alami (hujan dsb).
7.      Dukun Susuk: Dukun yang mempunyai keahlian khusus mengobati penyakit dengan menusukkan jarum emas pada bagian bawah kulit. Dukun susuk kemudian mengalami pergeseran makna menjadi dukun yang memberikan susuk (pengasihan) kepada orang-orang yang ingin terlihat istimewa secara fisik.
8.      Dukun Tiban: dukun yang hanya bisa mengobati orang sakit jika kerasukan roh.
            Makna dukun kemungkinan bergeser salah satunya karena banyak film-film dan cerita yang menampilkan dukun sebagai sosok jahat. Dukun yang sering dilihat dan didengar adalah dukun-dukun santhet dengan keahlian melukai orang lain melalui kemampuan supranatural. Padahal, dukun bukan kata lain dari “tukang santhet”. Banyak dukun bertugas menolong kehidupan orang lain.
            Dukun tidak hanya di Jawa, bahkan tidak hanya di Indonesia. Negara lain mengenal dukun dengan istilah berbeda, diantaranya Clairvoyant (Inggris), Macumba, Xango (Brazil), Obeah, Santeria (Jamaika), Voodo (Afrika bagian barat).

Kedudukan Dukun dalam Masyarakat Jawa


Ilustrasi dari taaristayasa.wordpress.com

Dukun adalah sebutan umum bagi tenaga penyembuh yang terdapat dalam masyarakat Indonesia yang bersumber dari dalam kebudayaan itu (Boedihartono 1980:2). Pengertian dukun menurut Kamus Besar bahasa Indonesia adalah “orang yang pekerjaannya menolong orang susah dan sakit, mengobati, memberi jampi-jampi dan mantra, konon, diantaranya melakukan kegiatan lewat kemampuan tenaga gaib”. Berdasarkan pengertian dukun yang dipaparkan oleh Boedihartono, disimpulkan dukun tidak hanya dalam konsep masyarakat Jawa, melainkan konsep masyarakat Indonesia umumnya. Namun, artikel ini akan membahas mengenai peran dukun dalam konsep masyarakat Jawa.
            Seperti dokter, dukun mempunyai keahlian masing-masing, seperti dukun bayi, dukun patah tulang, dukun petungan, dan dukun perewangan. Sebuah jurnal online memuat relevansi pemilihan dukun dalam proses persalinan[1], disebutkan pemilihan dukun dalam proses persalinan menjadi salah satu penyebab kematian ibu di Indonesia. Kecenderungan pemilihan dukun disebabkan adanya jampi-jampi atau doa-doa yang disampaikan sebelum persalinan[2]. Pemanfaatan dukun bayi merupakan salah satu contoh peran dukun dalam kehidupan masyarakat.
            Dalam pandangan dunia Jawa, slametan merupakan ritus terpenting bagi masyarakat Jawa (Franz Magnis, 1991:88). Slametan diadakan setiap peristiwa penting dalam kehidupan, seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan sunatan. Bagi orang Jawa, kenyataan selalu berhubungan erat dengan alam gaib dan alam kenyataan diresapi oleh alam gaib. Alam gaib dinyatakan dalam kekuatan-kekuatan yang tidak terlihat, sering disebut roh-roh. Masyarakat Jawa percaya bahwa sakit dan kecelakaan disebabkan oleh kekuatan-kekuatan atau roh-roh. Guna menyesuaikan diri dengan kekuatan gaib dan agar kekuatan gaib tersebut berkenan, dipasang berbagai sesajen untuk menjamin keadaan slamet setiap peristiwa kehidupan. Oleh karena itu, slametan dianggap penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. [3]
           Untuk menyelaraskan kekuatan gaib, diperlukan orang yang mampu (mumpuni) mengendalikan dan mengkordinasikan kosmos. Tidak mengherankan dalam masyarakat tradisional Jawa, dukun masih berperan aktif dan menjadi favorit tiap peristiwa kehidupan seperti melahirkan dan pernikahan.          


[1] journal.ui.ac.id/upload/artikel/641-1297-2-PB.pdf
[2] Ibid.
[3] Suseno, Franz Magnis.1991.Etika Jawa. Jakarta:Gramedia

Sabtu, 17 Maret 2012

Wayang Suket, dari Rumput yang Semakin “Terinjak” dan Semakin “Tumbuh”

Oleh Galuh Wulandari Sasongko
Ilustrasi Wayang Suket
dari wayangsuket.wordpress.com

            Kesenian merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang mempunyai wujud, fungsi, dan arti dalam kehidupan masyakakat. Dalam hal ini, bentuk-bentuk kesenian yang tersebar di seluruh tanah air menunjukkan corak-corak dan karakter yang beraneka ragam. Corak atau karakter tersebut muncul dikarenakan banyak dipengaruhi oleh sifat atau karakter budaya setempat, dari mana masyarakat berasal atau berdasarkan geografis, seperti tempat di mana ia bertempat tinggal.

           Orang Jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang dapat hidup, berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari, dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang Jawa merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang Jawa mengenai hal-hal kehidupan yang tertuang pada dilaog dialur cerita yang ditampilkan oleh seorang dhalang. Pada hakikatnya, seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.

           Konsep-konsep tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakikat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia  dengan manusia lain.

Kesenian wayang penuh dengan nilai-nilai dan makna filosofis bagi manusia. Kesenian wayang sebagai suatu kebudayaan memiliki cerminan kehidupan yang di dalamnya terkandung nilai, tujuan, moralitas, dan cita-cita orang Jawa. Melalui cerita wayang, masyarakat Jawa memperoleh gambaran kehidupan bagaimana hidup sesungguhnya dan bagaimana hidup seharusnya. Wayang memiliki nilai luhur yang dapat membantu manusia untuk melangsungkan hidup demi tercapainya kesempurnaan hidup, yakni membentuk diri manusia menjadi lebih baik.

UNESCO sebagai lembaga yang membawahi kebudayaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia. Banyak negara memiliki pertunjukkan boneka. Namun, pertunjukkan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikkan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Dan untuk itulah UNESCO memasukannya ke dalam Daftar Warisan Dunia pada tahun 2003. (Koran Anak Indonesia, Oktober 2011)

Wayang memiliki beraneka ragam jenis, yaitu Wayang Purwa, Wayang Gedhog, Wayang Klithik, Wayang Golek, Wayang Suket, Wayang Topeng, Wayang Wong (Wayang Orang), dan Wayang Beber. Ada juga Wayang China (Wayang Tithi atau Wayang Potehi), Wayang Klitik (Wayang Krucil), Wayang Kulit, Wayang Wahyu, Wayang Madya dan lain-lain.


Jika mendengar kata “wayang”, maka yang terbersit dalam benak kita adalah sesuatu yang monoton dan membosankan, karena strereotip masyarakat jika mendengar kata wayang pasti langsung tertuju pada pagelaran wayang kulit, yang biasanya diadakan semalam suntuk. Namun, tak selamanya pertunjukkan wayang, karena seiring dengan berjalannya waktu muncul tokoh-tokoh ‘pendobrak’ yang menciptakan inovasi-inovasi baru dalam memainkan wayang. Seperti Wayang Suket misalnya.

            Dilihat dari judulnya saja, sudah dapat diketahui bahwa bahan asal pembuatan wayang suket terbuat dari rumput. Bahan baku pembuatan wayang suket mudah didapatkan di sekitar rumah, seperti: janur, ilalang, mundeng, serai, bambu, lidi, tali, kawat, dan kabel. Janur dan berbagai jenis rerumputan itu didapat dari lahan tidur, pinggiran sungai, dan pekarangan rumah yang tak terurus. Metode pembuatannya sangatlah sederhana, menggunakan sistem tujuh tali. Tali itu sebagai pengikat rangka wayang yang terbuat dari bambu, lidi, kawat, atau kabel. Setelah rangka diikat, kemudian suket dianyam dan dibentuk menjadi layaknya sebuah wayang. Pada awalnya, wayang suket dibuat oleh anak-anak yang menggembala ternak di padang ilalang dan dimainkan bersama teman-temannya sebagai penghilang rasa bosan.

Seperti kesenian Jawa lain, yang memiliki makna yang terkandung di dalamnya. Rumput, merupakan bahan dari wayang suket, mengandung filosofi mengenai kehidupan, walaupun hidup di bawah dan kerap diinjak, bahkan dipangkas, rumput tetap bertahan hidup. Tumbuhnya rumput juga selalu diikuti keberadaan unsur alam lain, seperti tanah, air, udara dan matahari. Hal ini juga memberi gambaran terhadap nasib pertunjukan wayang, ketika sempat menjadi tontonan mewah, untuk kalangan priyayi, wayang tetap dinikmati dan dipentaskan masyarakat pedesaan. Salah satunya adalah dengan membuat wayang dari rumput, seperti wayang suket ini. Wayang suket dapat dikatakan sebagai simbol semangat tradisi yang terus hidup, bahkan di tengah modernitas dengan tetap mencipta kreasi baru tanpa kehilangan jati dirinya sebagai wayang. Suket atau rumput, memang dengan mudah bisa ditemukan dimana saja. Namun biasanya rumput yang dirangkai dan dijadikan wayang, adalah rumput teki, rumput gajah, atau mendhong, alang–alang yang biasa dianyam menjadi tikar. Kesemuanya memiliki tekstur kuat dan bentuk yang panjang–panjang.

            Wayang suket yang pada awalnya hanya dianggap sebagai mainan anak-anak dan hanya dibuat secara asal-asalan, lalu diubah oleh Bapak M. Thalib Prasodjo yang mewariskan kesenian wayang suket supaya kesenian ini bisa ‘naik kelas’.

            Berbagai cara telah dilakukan oleh Bapak Thalib, yang lebih dikenal sebagai pelukis sketsa ini seperti mengadakan pentas di berbagai sekolah, walaupun terus dicemooh dan masih dianggap remeh, Bapak Thalib terus memperkenalkan wayang suket secara serius dan telaten hingga akhirnya beliau berhasil menemukan wayang suket tiga dimensi yang terbuat dari daun rontal. Cara ini cukup berhasil menarik minat masyarakat untuk mempelajarinya melaui pelatihan-pelatihan yang diadakan.

                Selain Bapak Thalib, ada tokoh yang turut melestarikan kesenian wayang suket ini, yaitu Slamet Gundono, anak petani lulusan Madrasah dan seorang santri. Dhalang bertubuh subur ini biasa tampil dengan dandanan yang nyentrik dan tidak seperti dhalang kebanyakan. Ketika tampil Slamet Gundono tidak menggunakan baju beskap, blangkon, dan keris di pinggang. Ia biasa tampil dengan bertelanjang dada ataupun seperti koboi. Media pementasannya pun tidak menggunakan wayang, kecuali untuk gunungan atau beberapa tokoh. Kecintaan Slamet pada dunia wayang membawanya untuk menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dengan Jurusan Seni Pedalangan. Pementasan wayang suket pertama yang ditampilkan Suatu ketika di Riau tahun 1997, tanpa membawa seperangkat wayang dan gamelan. Seketika itu pula, beliau teringat akan masa kecilnya ketika bermain wayang suket. Bermodalkan wayang yang terbuat dari rumput dan iringan musik yang hanya terdiri dari suara mulut, maka jadilah pementasan itu. Dari situlah, keinginan Slamet Gundono untuk mendobrak pakem-pakem wayang kulit ini terus merebak, walaupun berbagai kritikan menerpa, namun Slamet Gundono tetap bertahan untuk tetap melestarikan kesenian wayang suket. Ketika pementasan pertunjukkan wayang suket, memang sangat terlihat bahwa pertunjukkan wayang suket ini melanggar pakem dan menyimpang, karena penonton tidak akan menemukan kelir atau kain putih yang biasa dipakai pada pertunjukkan wayang kulit. Musik yang disajikan pada pertunjukkan wayang suket juga tidak melulu menggunakan seperangkat gamelan, namun juga bisa digabungkan dengan musik-musik kontemporer yang lain.  Dengan bahasa Jawa yang mudah dimengerti oleh orang awam, sehingga tidak hanya penutur asli bahasa Jawa yang dapat mengerti lakon yang ditampilkan oleh Slamet Gundono. Maka tak heran jika tiap pementasan wayang Suket oleh Slamet Gundono, tampak muda-mudi yang betah untuk menyaksikan pertunjukkan wayang suket hingga akhir babak.

Museum Wayang Indonesia juga turut andil dalam pelestarian keberadaan kesenian wayang, termasuk wayang suket. Museum Wayang diresmikan oleh Gubernur Jakarta saat itu yaitu Ali Sadikin pada tanggal 13 Agustus 1975. Museum ini sebelumnya disebut sebagai Museum Batavia yang dibuka pada tahun 1939 oleh Gubernur Jenderal Belanda yaitu Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Gedung ini dibangun pada tahun 1912 bergaya Neo Renaissance dan pada tahun 1938 dipugar dan disesuaikan dengan gaya rumah Belanda saat itu. Gedung ini bukan merupakan bekas gedung gereja Belanda, karena gedung gereja tersebut sudah runtuh akibat gempa. Tapi memang berdiri di atas tanah bekas Gereja Belanda Baru atau Nieuwe Hollandse Kerk (1736) dan Gereja Belanda Lama atau Oude Hollandse Kerk (1640-1732) (Museum Wayang.com). Pihak Museum Wayang Itu sendiri juga telah sering mengadakan berbagai pelatihan pembuatan wayang suket. Antusiasme masyarakat terhadap wayang suket cukup tinggi, walaupun banyak yang merasa sangat sulit ketika pertama kali membuat wayang dari suket.

Walaupun tidak sefenomenal wayang kulit purwa, kehadiran wayang suket ini membawa angin segar pada dunia pewayangan di Nusantara, khususnya Jawa. Jika tidak ada lagi inovasi-inovasi baru terhadap wayang, maka wayang akan tampak sangat monoton, itu-itu saja, dan membosankan bagi para pemuda penerus bangsa. Tanpa tindak lanjut dari pemuda penerus bangsa yang seyogyanya mempertahankan dan melestarikan mahakarya dari para sesepuh atau pendahulu kita untuk budaya dan kesenian yang lebih baik tanpa menghilangkan sisi asli dari kesenian wayang itu sendiri.

Daftar Pustaka dan Sumber Lain
Lasuardi, Sungging. Makalah: Wayang Suket.
Sulistianto, Harry dkk. 2006. Seni Budaya. Jakarta: Grafindo
Website Museum Wayang Indonesia Jakarta www.museumwayang.com
Website Sekretariat Pewayangan Indonesia (Sena Wangi), www.pdgi.org

PERAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN USAHA JAMU DESA NGUTER

Oleh Aswinna, Ilham Saiful Mubin, Galuh Wulandari Sasongko, Rara Indah Nova Nindyah, Yaman Sangadji


Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang besar, sehingga banyak sekali jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan kesehatan, kecantikan, bahan pangan, dan lain-lain. Jamu merupakan salah satu obat tradisional sebagai alternatif pengganti obat-obatan kimia yang sampai saat ini masih digunakan oleh masyarakat Indonesia. Pada awalnya, jamu diolah secara tradisional dan seiring perkembangan zaman, jamu diolah menggunakan mesin atau sistem kerja pabrik.
Seperti yang dikemukakan oleh Menteri Kesehatan RI, Endang Rahayu Sedyaningsih, “Demi mewujudkan target menjadikan jamu tradisional sebagai tuan rumah di negeri sendiri, pemerintah sudah menyatakan komitmennya mengawali industri jamu nasional”.1Adanya pernyataan tersebut, memunculkan harapan baru bangkitnya industri jamu di Indonesia.
Semakin maraknya penggunaan obat modern oleh masyarakat belakangan ini, turut menggeser popularitas obat-obatan tradisional seperti jamu. Hal itu  berdampak pada produktivitas industri jamu baik yang berskala besar maupun kecil. Tidak terkecuali industri jamu di Desa Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Desa Nguter, merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang para penduduknya sudah mengenal tradisi‘ngombe jamu’atau ‘minum jamu’sejak zaman dahulu. Kebiasaan tersebut dilakukan secara turun temurun dan terus berkembang hingga kini. Beberapa masyarakat di Nguter bahkan telah mendirikan pabrik jamu dalam skala kecil maupun besar. Jamu olahan hasil pabrik tersebut didistribusikan melalui sentra distribusi jamu di Pasar Nguter.
Pemerintah melalui dinas perdagangan dan BPOM memiliki peran penting dalam hal kemajuan kegiatan perekonomian di Nguter. Akan tetapi perlu adanya koordinasi yang baik antara pemerintah dengan para pengrajin jamu. Sebenarnya, dalam proposi mana pemerintah turut serta dalam memperlancar berjalannya industri jamu dan kendala apa saja yang dialami para pengrajin jamu dengan adanya bantuan pemerintah tersebut.
Bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah disalurkan melalui KOJAI.  Baik peralatan, dana, dan perizinan diterima oleh KOJAI lebih dahulu. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah belum semua pengrajin masuk menjadi anggota KOJAI. Oleh karena itu, ada ketimpangan dalam hal pemerataan bantuan. Sebenarnya, apa itu KOJAI dan bagaimana perannya dalam penyaluran bantuan?

KOJAI dan Peran Pemerintah Daerah
Seiring dengan perkembangan industri jamu rumahan, sejak tahun 1977 di Sukoharjo telah didirikan Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI) dengan Drs. Moertejo sebagai pendirinya. Tujuannya, menghimpun pengrajin jamu dengan memberikan bimbingan serta arahan tentang cara memproduksi jamu yang higienis. Pada mulanya, KOJAI merupakan bagian dari Gabungan Perusahaan Jamu Indonesia (GPJI) lalu kemudian memutuskan untuk berdiri sendiri secara mandiri. Saat ini KOJAI telah memiliki anggota sebanyak 72 pengrajin jamu. KOJAI didirikan dengan asas kekeluargaan. Salah satu realisasi dari tujuan utama, KOJAI secara rutin mengadakan pertemuan untuk membahas masalah yang dihadapi oleh pengrajin jamu beserta solusinya setiap bulannya.
Terkait bantuan pemerintah, menurut Ibu Suwarsi Moertejo selaku ketua KOJAI, pemerintah telah memberikan bantuan berupaadministrasi, promosi, peralatan  produksi,  dan  dana pinjaman. Dalam hal administrasi, bantuan tersebut antara lain seperti perizinan peredaran barang dan perizinan label. Bantuan-bantuan dari pemerintah tersebut disalurkan melalui KOJAI. Pada akhirnya KOJAI sendirilah yangmengelola bantuan tersebut hingga sampai pada anggota-anggotanya.
Sedangkan dalam hal bantuan dana, pemerintah daerah telah mengucurkan dana sebesar dua ratus juta rupiah dengan jangka pengembalian enam tahun. Dana pinjaman tersebut berupa pinjaman lunak atau modal simpan pinjam. Dana ini disalurkan melalui KOJAI. Dari KOJAI, dana tersebut langsung disalurkan ke para anggotanya. Selain itu, pemerintah juga memberikan tambahan dana bantuan berupa uang binaan meskipun jumlahnya tidak seberapa.
Dari sisi bantuan peralatan produksi, pemerintah telah menghibahkan sejumlah peralatan seperti mesin penggiling, mesin pengering, mesin perajang, dan empon-empon (sejenis tanaman untuk jamu). Sayangnya, pemberian bantuan peralatan tersebut belum merata.
Mengenai bantuan dalam bentuk promosi, pemerintah menyediakan sarana promosi jamu pada acara-acara tertentu yang diadakan oleh pemerintah daerah meskipun tidak dilakukan secara berkala. Di tingkat provinsi, gubernur juga mengadakan seminar tentang jamu setiap setahun sekali yang diikuti oleh pengrajin jamu di Jawa Tengah.
Secara hukum, pemerintah memberikan kebijakan-kebijakan khusus terkait pemberdayaan usaha jamu.Kebijakan tersebut berupa undang-undang. Salah satunya, undang-undang yang melarangpencampuran jamu dengan bahan kimia serta aturan izin peredaran jamu. Oleh karena itu, banyak penjual yang menjual jamu-jamu yang belum mendapatkan izin.
Di bidang perizinan, pemerintah telah sedikit mempermudah permohonan berbagai perizinan terkait usaha jamu meskipun dalam kenyataannya para pengusaha jamu masih kesulitan. Sebelumnya, proses perizinan usaha jamu memakan waktu yang terlalu lama (membutuhkan waktu sekitar 1 sampai 2 tahun), persyaratan yang diajukan Dinas Kesehatan juga banyak, diantaranya  uji laboratorium yang membutuhkan biaya mahal. Perizinan lebel yang membutuhkan biaya yang mahal itu ternyata menjadi momok bagi para pengrajin jamu. Selain itu, terkadang ada razia dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang pada ujungnya meminta uang.
Selain itu, dari pihak pemerintah sering melakukan kunjungan ke pasar Nguter. Biasanya yang melakukan kunjungan adalah bupati, gubernur, dan pihak pemerintah daerah. Tidak hanya itu, dari Kementrian Koperasi juga melakukan kunjungan. Akan tetapi, kunjungan tersebut hanya sekadar melihat dan mengetahui keadaan disana, tanpa menindak lanjutinya. Dalam kunjungan tersebut juga tidak ada semacam pengarahan yang bermanfaat bagi para penjual. 
Dalam sistem pemasaran industri jamu di Nguter, sejauh ini tidak ada masalah-masalah yang serius. Hasil produksi jamu-jamu di Nguter tidak hanya dipasarkan di pulau Jawa saja, tetapi juga sampai ke Kalimantan. Pemasaran jamu ke pulau Kalimantan, dilakukan melalui cara pemaketan barang. Biasanya para pemesan tidak hanya memesan satu jenis produk saja tetapi memesan secara borongan bersamaan dengan produk lainnya. Keberhasilan dalam promosi itu ternyata tanpa campur tangan dari pemerintah. Para pengusaha jamu mendistribusikan barang-barangnya lewat agen-agen yang sudah tersebar di pulau Jawa.
Para pengrajin jamu sangat membutuhkan bantuan dari pihak pemerintah baik dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat guna menunjang kelancaran usaha mereka. Seperti yang terlihat di pasar Nguter, ada beberapa penjual yang beralih profesi menjadi penjual sembako, penjual peralatan rumah tangga, dan ada yang membuka warung makan. Hal itu mengindikasikan terjadi kelesuan ekonomi pada waktu tertentu yang mengakibatkan para penjual gulung tikar. Pemerintah, sebagai pihak yang berwenang diharapkan bisa mengentaskan masalah tersebut.
Pada kenyataannya meskipun bantuan pemerintah cukup banyak, bantuan-bantuan tersebut dirasa belum cukup untuk mewujudkan Desa Nguter sebagai sentra industri jamu rumahan. Diperlukan adanya kerjasama antar berbagai pihak, mulai dari pemerintah, koperasi, dan para pengusaha jamu secara sinergis untuk mewujudkan tujuan tersebut. Tidak terkecuali masyarakat yang dalam hal ini sebagai konsumen.
Jamu Gendong dan Peran Pemerintah Daerah
            KOJAI sebagai satu-satunya penghimpun yang memayungi industri jamu rumahan di Nguter. Sementara banyak sekali hambatan untuk ikut serta menjadi anggota KOJAI, maka banyak pengrajin jamu yang memilih menjadi penjual jamu gendong. Biasanya, penjual jamu gendong diperankan oleh perempuan-perempuan desa yang memiliki tekad kuat untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang kurang.
            Di Nguter, banyak sekali penjual jamu gendong. Adanya jamu gendong di desa Nguter yaitu bermula dari tradisi warga yang secara turun-temurun memanfaatkan tanaman berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit dan menambah stamina. Lantaran khasiatnya yang dirasakan sangat bermanfaat, maka banyak warga yang mulai meracik jamu sendiri dan membuatnya dalam bentuk cair. Karena menjual jamu sangat menguntungkan, akhirnya banyak warga yang menjual jamu, salah satunya munjual jamu gendong.
Penjual jamu gendong secara fisik yaitu seorang perempuan yang menggendong bakul dengan berisi botol-botol jamu. Di salah satu tangannya membawa sebuah ember berisi air untuk mencuci gelas-gelas jamu yang sudah digunakan untuk minum jamu. Penjual jamu gendong di Nguter mulai berkeliling sejak pagi buta dari desa ke desa, rumah ke rumah, jalan ke jalan hingga sore hari.
Selain di desa, penjual jamu gendong ada pula yang merantau keluar kota seperti Semarang, Solo, Jakarta dan Surabaya. Dari segi penghasilan dan penjualan, jamu gendong yang dijual di desa dengan di kota tentu terdapat perbedaan. Di desa, harga per gelasnya sangat murah, yaitu lima ratus rupiah hingga seribu rupiah. Sedangkan di kota, bisa mencapai dua ribu rupiah hingga tiga ribu rupiah pergelasnya. Dari penjualan tersebut, penghasilan jamu gendong yang merantau keluar kota lebih menguntungkan dibandingkan dengan jamu gendong di desa.
Penghasilan dari penjualan jamu gendong di luar kota mampu digunakan untuk membiayai sekolah anak-anak mereka dan untuk membangun rumah yang lebih layak. Perbedaan ini terlihat dari kondisi rumah penjual jamu gendong. Rumah penjual jamu gendong yang merantau umumnya permanen, besar, berlantai keramik,  bercat menarik dan tergolong mewah. Sedangkan rumah penjual jamu gendong di desa terbuat dari gedhek (anyaman bambu), kayu, dan lantai biasa atau malah masih tanah.
Salah satu penghargaan yang diberikan pemerintah kepada penjual jamu gendong adalah didirikannya monumen “Jamu Gendong” di Desa Gupit, Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo. Monumen ini berupa patung seorang perempuan penjual jamu setinggi 1,6 meter terbuat dari batu kali. Patung perempuan penjual jamu tersebut tidak jauh beda penampilannya dengan penjual jamu gendong yang asli, yaitu patung tersebut dibuat dengan setelan kebaya lurik dan berkain batik, menggendong bakul yang di dalamnya terdapat sejumlah botol berisi berbagai jenis jamu. Parasnya manis, tatapannya tajam lurus ke depan. Patung mbok jamu tersebut tampak “Perkasa”.
Monumen “Jamu Gendong” dibangun pada awal tahun 1990-an oleh warga desa setempat. Direnovasi dan diresmikan Bupati Sukoharjo, Bambang Riyanto, pada 24 Mei 2004. Monumen ini dibangun sabagai bentuk penghargaan untuk memuliakan keperkasaan perempuan-perempuan penjual jamu gendong di Nguter.









Kesimpulan
Antara pemerintah, KOJAI, dan pengrajin jamu belum ada koordinasi yang baik. Pemerintah dalam proporsinya sebagai pengawas atau pengontrol, penyeimbang, dan pemberi bantuan sudah melakukan tugasnya dengan baik namun perlu adanya peningkatan karena pemanfaatan yang diterima oleh pengrajin belum merata. Pengawasan terhadap petugas yang menyalahi prosedur sehingga menimbulkan kerugian masyarakat pengonsumsi jamu. Selain itu, perlu adanya sosialisasi berkala untuk meningkatkan pengetahuan mengenai tata kelola indistri jamu.
KOJAI yang dalam hal ini sebagai perantara dari berbagai bantuan pemerintah selayaknya perlu meningkatkan perannya untuk mengajak para pengrajin jamu menjadi anggotanya sehingga lebih mudah dalam pemerataan bantuan. KOJAI dalam hal ini berperan sangat penting sebagai pengayom sekaligus bagi para pengrajin jamu.
Pengrajin jamu sebagai pusat pengelola jamu perlu meningkatkan SDM. Peningkatan SDM didapatkan dengan mengikuti berbagai sosialisasi dan seminar. Para pengrajin jamu seharusnya aktif dalam upaya-upaya penanganan industri jamu itu sendiri. Mereka juga harus mempunyai inovasi-inovasi untuk mempertahankan dan memajukan industri jamu yang mereka kelola. Terakhir, pengrajin jamu juga harus mejaga hubungannya dengan KOJAI dan berbagai instansi pemerintah yang berhubungan.


Pasar Nguter, salah satu pasar yang terkenal dalam penjualan jamu di Desa Nguter,
Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah


Salah satu ruang pamer produk sekretarian Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI), KOJAI berdiri pada tahun 1977 dan keberadaannya sangat
membantu para pengrajin jamu dalam merintis industri jamu di Nguter


Minggu, 11 Maret 2012

Wirabraja : Sisa-sisa Kekuatan Pertahanan Keraton Yogya

Kesatuan Wirabraja


Pemerintahan yang kuat tentu harus didukung dengan sistem pertahanan yang kuat pula. Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sebuah kraton pecahan dari Mataram juga memiliki sistem pertahanan yang kuat di masa kejayaannya. Meskipun kini Ngayogyakarta Hadiningrat telah bergabung dan menjadi bagian dari Republik Indonesia, sisa-sisa kekuatan pertahanan itu masih terlihat dari sepuluh kesatuan prajurit yang dimilikinya. Kesatuan Wirabraja atau bergada Wirabraja adalah contoh salah satu dari sepuluh kesatuan prajurit di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang masih bertahan hingga sekarang.
Bergada ini terdiri dari 4 perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, 72 prajurit dan 2 orang pembawa duaja. Prajurit terdiri dari pasukan infantri dan kaveleri. Komandan pasukan ini menduduki tingkat bupati. Senjata yang dipergunakan kesatuan ini antara lain keris, bedil, dan tombak. Bergada prajurit Wirabraja menggunakan seragam berbentuk sikepan, ikat pinggang kain satin dan celana panji dengan dominasi keseluruhan seragam berwarna merah. Warna merah merupakan simbol keberanian dan semangat membara. Kundhup tari yakni topi yang digunakan prajurit, berbentuk corong melengkung berwarna merah sehingga tampilan keseluruhan prajurit mirip seperti ‘cabai merah’. Oleh karena itu, kesatuan Wirabraja kerap dijuluki “lombok abang”.

Secara bahasa, Wirabraja terdiri dari dua kata yakni ‘wira’ berarti ‘lelaki, prajurit’ sedangkan ‘braja’ berarti ‘senjata, topan, angin kencang’.  Maknanya, bahwa kesatuan ini adalah kesatuan prajurit yang tangkas, cepat, dan tepat dalam menjalankan  setiap misinya. Bergada Wirabraja dibentuk pada masa pemerintahan Hamengkubuwana I tepatnya tahun 1755. Kesatuan ini selalu menjadi garda terdepan dalam  memberikan pengawalan Kraton Yogya. Dalam suatu babad diceritakan perlawanan bersenjata secara besar-besaran antara pasukan Yogya melawan serangan pasukan Inggris yang berjumlah ribuan pada Juni 1812. Pasukan inggris dipimpin oleh Gillespie, sedangkan Yogya dibawah kepemimpinan Hamengkubuwana (HB) II. Pada saat itu pasukan Yogya dikabarkan sudah mulai menggunakan senapan api dan meriam.
Kekuatan itu justru menurun sejak masa pemerintahan HB III bergada Wirabraja dan bergada-bergada lainnya di Kraton Yogya dilucuti berdasarkan perjanjian dengan penjajah Inggris yang dipimpin oleh Raffles tertanggal 2 Oktober 1812. Pembatasan jumlah dan pelemahan kekuatan membuat bergada prajurit Wirabraja akhirnya pudar. Larangan Kraton memiliki prajurit di masa penjajahan Jepang tahun 1942 membuat kesatuan inipun tenggelam. Setelah tahun 1972 bergada Wirabraja dan 9 kesatuan lainnya dari 13 kesatuan di masa HB VII kembali direkonstruksi.  
Sekarang bergada Wirabraja tidak lagi memiliki fungsi militer secara penuh. Kedudukannya hanya menjadi bukti sosial budaya kekuatan pertahanan Ngayogyakarta di masa lampau. Dalam jangka waktu setahun, paling tidak pasukan ini muncul dalam tiga kali upacara, yakni pada Garebeg Mulud, Garebeg Besar, dan Garebeg Syawal. Fungsi strategis kesatuan ini di masa lampau digambarkan dengan posisi terdepan dalam arak-arakan upacara Garebeg tersebut.

Sekilas Tentang Keraton Yogyakarta dan Surakarta

Surat Perjanjian Giyanti
 
Di daerah kebudayaan Jawa terdapat empat keraton, yakni Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran, Kasultanan Yogyakarta, dan Pura Pakualaman. Keempat keraton tersebut dulunya berasal dari satu kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram adalah kerajaan yang yang berkuasa di Jawa setelah kerajaan Demak dan Pajang.
Kerajaan Mataram pada tahun 1755 terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Perpecahan ini terjadi berawal saat Pakubuwono II, raja Mataram saat itu, dianggap menyerahkan kedaulatan kerajaan kepada Belanda sehingga banyak pihak yang tidak terima dengan penyerahan tersebut. Keadaan tersebut diperparah dengan seorang pangeran bernama Mangkubumi yang menganggap Sang Raja ingkar janji padanya. Sang Raja konon pernah berjanji akan memberinya hadiah jika berhasil memadamkan pemberontakan di daerah Sukowati. Pangeran Mangkubumi bersama orang-orang yang sependapat dengannya kemudian memberontak.
Pemberontakan pangeran Mangkubumi dan kelompoknya berhasil, pada tahun 1752 hampir seluruh wilayah Mataram dapat mereka kuasai. Karena keberhasilannya tersebut, Belanda kemudian mengajak pangeran Mangkubumi bernegosiasi dan berjanji akan memberikan setengah wilayah kerajaan Mataram. 
Pada tahun 1755 diadakan sebuah perjanjian antara pangeran Mangkubumi, Pakubuwono III, dan Pemerintah Belanda. Perjanjian inilah yang membagi wilayah kerajaan Mataram menjadi dua; Kasunanan Surakarta dipimpin Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta di bawah pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi raja bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Perjanjian ini disebut perjanjian Giyanti.
Perjanjian Giyanti memberikan pengaruh besar pada bidang sosial-budaya di Jawa. Meskipun sama-sama kerajaan Jawa, kedua kerajaan tersebut kemudian mengembangkan ciri khas budaya yang berbeda bahkan kadang-kadang terlihat bertolakbelakang. Perbedaan ini misalnya terlihat pada desain wayang kulit. Wayang kulit gaya Yogyakarta berukuran lebih besar dari yang bergaya Surakarta. 
Berbeda dengan dua keraton di atas, Pura Mangkunegaran di Surakarta dan Pura Pakualaman di Yogyakarta tidak memiliki pengaruh kebudayaan yang kuat. Pura Mangkunegaran di Surakarta dulunya adalah tempat tinggal salah satu pangeran yang masih saudara dari Pakubuwono III. Pangeran tersebut bergelar Mangkunegara I dan memiliki menguasai wilayah selatan Surakarta. Meskipun memiliki keraton dan wilayah sendiri namun tidak berhak menyandang gelar raja atau sultan. 
Pura Pakualaman di Yogyakarta adalah tempat tinggal keturunan Pangeran Notokusumo, adik Sultan Hamengkubuwono II. Saat Yogyakarta dikuasai oleh Inggris Pangeran Notokusumo diangkat oleh pemerintah Inggris sebagai Pangeran Merdika bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I yang menguasai daerah sebelah barat kota Yogyakarta. Pengangkatan tersebut karena Pangeran Notokusumo dianggap banyak berjasa terhadap pemerintah Inggris.

Eksistensi Bahasa Ibu

Eksistensi Bahasa Ibu
Oleh Patrisia Devitasari
Tanggal 21 Februari 2005, bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional. 21 Februari ditetapkan sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional oleh UNESCO sejak 17 November 1999. Ini merupakan hari penting, mengingat beberapa bahasa ibu di Indonesia terancam punah akibat jarang bahkan tidak digunakan lagi. Kehidupan modern dan westernisasi merupakan salah satu penyebab menghilangnya beberapa bahasa Ibu. Kini orang tua enggan mengajarkan bahasa daerah kepada anaknya, bahkan lebih memilih bahasa asing agar terlihat keren. Pelestarian bahasa ibu sangat penting ditengah kehidupan modern untuk memelihara identitas etnis, disamping bahasa ibu mulai tergusur oleh bahasa nasional oleh para penuturnya sendiri.
Menurut catatan Pusat Bahasa, ratusan bahasa daerah di Indonesia terancam punah karena semakin jarang digunakan. Jumlah bahasa di seluruh dunia sebanyak 6.912 (tahun 2009), Indonesia menduduki peringkat kedua terbanyak (741 bahasa) setelah Papua Nugini (820). Jumlah itu memang dikatakan bisa naik dan turun karena ada bahasa-bahasa yang punah, tetapi ada juga bahasa yang belum teridentifikasi.
Sastrawan Ajip Rosidi, memprediksikan kemungkinan hilangnya bahasa Sunda. Prediksi didasari oleh penelitian ahli yang memperhitungkan kurang lebih 6000 bahasa di dunia pada akhir abad 21 akan ada 3000 bahasa yang mati. Artinya, 30 bahasa akan mati dalam setahun, dua setengah bahasa akan mati selama sebulan dan setiap 10 hari akan ada satu bahasa yang hilang dari dunia ini. Bahasa Sunda diprediksikan mati jika orang Sunda sudah tidak mau berbicara menggunakan bahasa Sunda.
Memperingati hari bahasa ibu saat ini, diharapkan kaum muda serta seluruh masyarakat turut melestarikan bahasa ibunya. Mulai dari hal kecil seperti tidak malu untuk menggunakan bahasa daerah dalam aktivitas sehari – hari hingga menggunakan bahasa daerah dalam karya sastra dan seni musik.

Sekilas Tentang Bahasa Jawa


“Pokoke nyong ora bisa. Ronggeng iku kaya pohon kelapa, sapa bae bisa sluman-slumun manjat”. Pernah mendengar kalimat tersebut? Merupakan salah satu dialog dalam film Sang Penari yang mendapat penghargaan dalam Festival Film Indonesia sebagai film terbaik tahun 2011. 
Dialog di atas digunakan dalam film yang merupakan bahasa Jawa dialek Banyumas yang identik dengan kata-kata inyong, rika, dan bae. Dialek ini dipakai oleh masyarakat di daerah Banyumas dan sekitarnya. 
Dialek adalah variasi bahasa. Variasi dapat berupa perbedaan kata, huruf, atau pelafalan. Semua bahasa mempunyai dialek, begitu juga bahasa Jawa. Selain Banyumas ada banyak dialek seperti Tegal, Yogya-Solo, dan Surabaya. Dialek Solo-Yogya dianggap sebagai yang baku.
Bahasa Jawa mempunyai tingkat tutur. Tingkat tutur adalah pilihan bahasa yang digunakan untuk tata krama dan sopan santun. Secara garis besar ada dua tingkat tutur, yaitu ngoko dan krama. Tingkat tutur ngoko digunakan untuk berbicara dengan orang yang seusia dan sederajat. Tingkat tutur krama untuk berbicara dengan orang yang lebih tua dan dihormati. Adanya tingkat tutur membuat bahasa Jawa terlihat rumit dan sulit dipelajari.
Bahasa Jawa adalah satu dari sedikit bahasa daerah di Indonesia yang memiliki sistem aksara. Aksara Jawa terdiri dari dua puluh huruf yang berbentuk mirip aksara Bali dan Sunda. Saat ini aksara Jawa sangat jarang dipakai, tergantikan oleh aksara latin yang lebih universal. Penggunaan aksara latin membuat aksara Jawa semakin mendekati kepunahan. Meskipun di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur Sekolah Dasar masih mengajarkan aksara Jawa, namun masih kurang untuk menjaga eksistensi aksara Jawa.
Eksistensi aksara Jawa memang sedang terancam, namun tidak pada bahasanya Menurut Comrie (2003), ada dua puluh bahasa ibu di seluruh dunia yang memiliki jumlah penutur terbanyak dan bahasa Jawa ada di urutan ke-13. Data tersebut menunjukkan bahasa Jawa bernasib sangat baik, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan bahasa daerah lain di Indonesia yang berada diambang kepunahan.
Berdasarkan kajian Pusat Bahasa, Indonesia memiliki 726 bahasa daerah. Namun hanya 13 bahasa yang jumlah penuturnya lebih dari satu juta orang yaitu yaitu bahasa Jawa, Batak, Sunda, Bali, Bugis, Madura, Minang, Rejang Lebong, Lampung, Makasar, Banjar, Bima, dan Sasak. Selain bahasa-bahasa tersebut jumlah penuturnya sangat sedikit, seperti bahasa Halmahera yang penuturnya tinggal puluhan orang saja (Kompas, 14/11/2007).
UNESCO sebagai badan PBB yang mengurus masalah kebudayaan menunjukkan kepeduliannya terhadap bahasa dengan menetapkan tanggal 21 Februari sebagai hari bahasa ibu internasional. Pemerintah juga sudah memasukkan bahasa daerah ke dalam kurikulum sekolah. Kini tinggal kita sebagai masyarakat menunjukkan kepedulian terhadap kekayaan budaya kita ini.