Social Icons

Pages

Sabtu, 17 Maret 2012

Wayang Suket, dari Rumput yang Semakin “Terinjak” dan Semakin “Tumbuh”

Oleh Galuh Wulandari Sasongko
Ilustrasi Wayang Suket
dari wayangsuket.wordpress.com

            Kesenian merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang mempunyai wujud, fungsi, dan arti dalam kehidupan masyakakat. Dalam hal ini, bentuk-bentuk kesenian yang tersebar di seluruh tanah air menunjukkan corak-corak dan karakter yang beraneka ragam. Corak atau karakter tersebut muncul dikarenakan banyak dipengaruhi oleh sifat atau karakter budaya setempat, dari mana masyarakat berasal atau berdasarkan geografis, seperti tempat di mana ia bertempat tinggal.

           Orang Jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang dapat hidup, berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari, dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang Jawa merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang Jawa mengenai hal-hal kehidupan yang tertuang pada dilaog dialur cerita yang ditampilkan oleh seorang dhalang. Pada hakikatnya, seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.

           Konsep-konsep tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakikat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia  dengan manusia lain.

Kesenian wayang penuh dengan nilai-nilai dan makna filosofis bagi manusia. Kesenian wayang sebagai suatu kebudayaan memiliki cerminan kehidupan yang di dalamnya terkandung nilai, tujuan, moralitas, dan cita-cita orang Jawa. Melalui cerita wayang, masyarakat Jawa memperoleh gambaran kehidupan bagaimana hidup sesungguhnya dan bagaimana hidup seharusnya. Wayang memiliki nilai luhur yang dapat membantu manusia untuk melangsungkan hidup demi tercapainya kesempurnaan hidup, yakni membentuk diri manusia menjadi lebih baik.

UNESCO sebagai lembaga yang membawahi kebudayaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia. Banyak negara memiliki pertunjukkan boneka. Namun, pertunjukkan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikkan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Dan untuk itulah UNESCO memasukannya ke dalam Daftar Warisan Dunia pada tahun 2003. (Koran Anak Indonesia, Oktober 2011)

Wayang memiliki beraneka ragam jenis, yaitu Wayang Purwa, Wayang Gedhog, Wayang Klithik, Wayang Golek, Wayang Suket, Wayang Topeng, Wayang Wong (Wayang Orang), dan Wayang Beber. Ada juga Wayang China (Wayang Tithi atau Wayang Potehi), Wayang Klitik (Wayang Krucil), Wayang Kulit, Wayang Wahyu, Wayang Madya dan lain-lain.


Jika mendengar kata “wayang”, maka yang terbersit dalam benak kita adalah sesuatu yang monoton dan membosankan, karena strereotip masyarakat jika mendengar kata wayang pasti langsung tertuju pada pagelaran wayang kulit, yang biasanya diadakan semalam suntuk. Namun, tak selamanya pertunjukkan wayang, karena seiring dengan berjalannya waktu muncul tokoh-tokoh ‘pendobrak’ yang menciptakan inovasi-inovasi baru dalam memainkan wayang. Seperti Wayang Suket misalnya.

            Dilihat dari judulnya saja, sudah dapat diketahui bahwa bahan asal pembuatan wayang suket terbuat dari rumput. Bahan baku pembuatan wayang suket mudah didapatkan di sekitar rumah, seperti: janur, ilalang, mundeng, serai, bambu, lidi, tali, kawat, dan kabel. Janur dan berbagai jenis rerumputan itu didapat dari lahan tidur, pinggiran sungai, dan pekarangan rumah yang tak terurus. Metode pembuatannya sangatlah sederhana, menggunakan sistem tujuh tali. Tali itu sebagai pengikat rangka wayang yang terbuat dari bambu, lidi, kawat, atau kabel. Setelah rangka diikat, kemudian suket dianyam dan dibentuk menjadi layaknya sebuah wayang. Pada awalnya, wayang suket dibuat oleh anak-anak yang menggembala ternak di padang ilalang dan dimainkan bersama teman-temannya sebagai penghilang rasa bosan.

Seperti kesenian Jawa lain, yang memiliki makna yang terkandung di dalamnya. Rumput, merupakan bahan dari wayang suket, mengandung filosofi mengenai kehidupan, walaupun hidup di bawah dan kerap diinjak, bahkan dipangkas, rumput tetap bertahan hidup. Tumbuhnya rumput juga selalu diikuti keberadaan unsur alam lain, seperti tanah, air, udara dan matahari. Hal ini juga memberi gambaran terhadap nasib pertunjukan wayang, ketika sempat menjadi tontonan mewah, untuk kalangan priyayi, wayang tetap dinikmati dan dipentaskan masyarakat pedesaan. Salah satunya adalah dengan membuat wayang dari rumput, seperti wayang suket ini. Wayang suket dapat dikatakan sebagai simbol semangat tradisi yang terus hidup, bahkan di tengah modernitas dengan tetap mencipta kreasi baru tanpa kehilangan jati dirinya sebagai wayang. Suket atau rumput, memang dengan mudah bisa ditemukan dimana saja. Namun biasanya rumput yang dirangkai dan dijadikan wayang, adalah rumput teki, rumput gajah, atau mendhong, alang–alang yang biasa dianyam menjadi tikar. Kesemuanya memiliki tekstur kuat dan bentuk yang panjang–panjang.

            Wayang suket yang pada awalnya hanya dianggap sebagai mainan anak-anak dan hanya dibuat secara asal-asalan, lalu diubah oleh Bapak M. Thalib Prasodjo yang mewariskan kesenian wayang suket supaya kesenian ini bisa ‘naik kelas’.

            Berbagai cara telah dilakukan oleh Bapak Thalib, yang lebih dikenal sebagai pelukis sketsa ini seperti mengadakan pentas di berbagai sekolah, walaupun terus dicemooh dan masih dianggap remeh, Bapak Thalib terus memperkenalkan wayang suket secara serius dan telaten hingga akhirnya beliau berhasil menemukan wayang suket tiga dimensi yang terbuat dari daun rontal. Cara ini cukup berhasil menarik minat masyarakat untuk mempelajarinya melaui pelatihan-pelatihan yang diadakan.

                Selain Bapak Thalib, ada tokoh yang turut melestarikan kesenian wayang suket ini, yaitu Slamet Gundono, anak petani lulusan Madrasah dan seorang santri. Dhalang bertubuh subur ini biasa tampil dengan dandanan yang nyentrik dan tidak seperti dhalang kebanyakan. Ketika tampil Slamet Gundono tidak menggunakan baju beskap, blangkon, dan keris di pinggang. Ia biasa tampil dengan bertelanjang dada ataupun seperti koboi. Media pementasannya pun tidak menggunakan wayang, kecuali untuk gunungan atau beberapa tokoh. Kecintaan Slamet pada dunia wayang membawanya untuk menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dengan Jurusan Seni Pedalangan. Pementasan wayang suket pertama yang ditampilkan Suatu ketika di Riau tahun 1997, tanpa membawa seperangkat wayang dan gamelan. Seketika itu pula, beliau teringat akan masa kecilnya ketika bermain wayang suket. Bermodalkan wayang yang terbuat dari rumput dan iringan musik yang hanya terdiri dari suara mulut, maka jadilah pementasan itu. Dari situlah, keinginan Slamet Gundono untuk mendobrak pakem-pakem wayang kulit ini terus merebak, walaupun berbagai kritikan menerpa, namun Slamet Gundono tetap bertahan untuk tetap melestarikan kesenian wayang suket. Ketika pementasan pertunjukkan wayang suket, memang sangat terlihat bahwa pertunjukkan wayang suket ini melanggar pakem dan menyimpang, karena penonton tidak akan menemukan kelir atau kain putih yang biasa dipakai pada pertunjukkan wayang kulit. Musik yang disajikan pada pertunjukkan wayang suket juga tidak melulu menggunakan seperangkat gamelan, namun juga bisa digabungkan dengan musik-musik kontemporer yang lain.  Dengan bahasa Jawa yang mudah dimengerti oleh orang awam, sehingga tidak hanya penutur asli bahasa Jawa yang dapat mengerti lakon yang ditampilkan oleh Slamet Gundono. Maka tak heran jika tiap pementasan wayang Suket oleh Slamet Gundono, tampak muda-mudi yang betah untuk menyaksikan pertunjukkan wayang suket hingga akhir babak.

Museum Wayang Indonesia juga turut andil dalam pelestarian keberadaan kesenian wayang, termasuk wayang suket. Museum Wayang diresmikan oleh Gubernur Jakarta saat itu yaitu Ali Sadikin pada tanggal 13 Agustus 1975. Museum ini sebelumnya disebut sebagai Museum Batavia yang dibuka pada tahun 1939 oleh Gubernur Jenderal Belanda yaitu Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Gedung ini dibangun pada tahun 1912 bergaya Neo Renaissance dan pada tahun 1938 dipugar dan disesuaikan dengan gaya rumah Belanda saat itu. Gedung ini bukan merupakan bekas gedung gereja Belanda, karena gedung gereja tersebut sudah runtuh akibat gempa. Tapi memang berdiri di atas tanah bekas Gereja Belanda Baru atau Nieuwe Hollandse Kerk (1736) dan Gereja Belanda Lama atau Oude Hollandse Kerk (1640-1732) (Museum Wayang.com). Pihak Museum Wayang Itu sendiri juga telah sering mengadakan berbagai pelatihan pembuatan wayang suket. Antusiasme masyarakat terhadap wayang suket cukup tinggi, walaupun banyak yang merasa sangat sulit ketika pertama kali membuat wayang dari suket.

Walaupun tidak sefenomenal wayang kulit purwa, kehadiran wayang suket ini membawa angin segar pada dunia pewayangan di Nusantara, khususnya Jawa. Jika tidak ada lagi inovasi-inovasi baru terhadap wayang, maka wayang akan tampak sangat monoton, itu-itu saja, dan membosankan bagi para pemuda penerus bangsa. Tanpa tindak lanjut dari pemuda penerus bangsa yang seyogyanya mempertahankan dan melestarikan mahakarya dari para sesepuh atau pendahulu kita untuk budaya dan kesenian yang lebih baik tanpa menghilangkan sisi asli dari kesenian wayang itu sendiri.

Daftar Pustaka dan Sumber Lain
Lasuardi, Sungging. Makalah: Wayang Suket.
Sulistianto, Harry dkk. 2006. Seni Budaya. Jakarta: Grafindo
Website Museum Wayang Indonesia Jakarta www.museumwayang.com
Website Sekretariat Pewayangan Indonesia (Sena Wangi), www.pdgi.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar