Denah Kesultanan Cirebon |
Cirebon
adalah daerah di pantai utara Jawa Barat. Daerah ini penting untuk di bahas,
karena keunikan budayanya. Kebudayaan Cirebon adalah hasil campuran beberapa
budaya di sekitarnya. Bahasa misalnya, menunjukkan pengaruh bahasa Jawa dan
Sunda yang kuat. Bagaimana percampuran itu bisa terjadi? Mungkin menelusuri
sejarah kesultanan Cirebon dapat membantu kita memahaminya.
Dahulu
Cirebon adalah sebuah desa kecil bernama Caruban yang dibuka oleh Ki Gedeng
Tapa. Ki Gedeng Tapa adalah seorang Saudagar di pelabuhan Muarajati. Sejak ia
membuka desa, mulai banyak orang yang ikut menetap di sana. Nama Caruban
(Bahasa Sunda: campuran) lama-kelamaan berganti dengan Cirebon (Bahasa Sunda:
air rebon) karena banyak orang yang bermata pencaharian sebagai pencari ikan
dan rebon (udang kecil). Orang pertama yang diangkat menjadi kuwu (kepala desa)
adalah Ki Gedeng Alang-Alang dan wakilnya adalah Raden Walangsungsang, cucu Ki
Gedeng Tapa yang juga putera Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran.
Setelah
Ki Gedeng Alang-Alang meninggal, Raden Walangsungsang melanjutkan sebagai kuwu
yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Ketika Ki Gedeng Tapa meninggal,
Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan jabatan itu, melainkan mendirikan istana
Pakungwati dan membentuk pemerintahan Cirebon.
Pada
tahun 1479 ia meninggal dunia dan kedudukannya digantikan oleh keponakannya
yang bernama Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah yang juga dikenal sebagai
Sunan Gunung Jati adalah putera dari Nyai Rara Santang dengan Syarif Abdullah
dari Mesir. Kesultanan Cirebon banyak berkembang pada masa ini. Saat Syarif
Hidayatullah meninggal, yang diangkat menjadi pengganti adalah Fatahillah,
menantunya. Ini karena putranya yang masih hidup telah memerintah di Banten.
Setelah
Fatahillah meninggal, ia digantikan oleh cucu Sunan Gunung Jati, yang bergelar
Panembahan Ratu I. Panembahan Ratu I kemudian diganti oleh Pangeran Karim yang
bergelar Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya.
Pada
masa Panembahan Girilaya, Cirebon berada diantara kekuatan Banten dan Mataram
yang sama-sama menaruh curiga. Selain masih mempunyai ikatan darah dengan
Banten, Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma Mataram.
Puncaknya, Panembahan Girilaya meninggal saat berkunjung ke Surakarta. Selain
itu, kedua putranya yang bernama Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya
juga ditahan.
Kekosongan
kekuasaan di Cirebon membuat sultan Banten menobatkan Wangsakerta, putera
ketiga Panembahan Girilaya, sebagai pengganti. Sultan Banten juga membantu
memulangkan dua pangeran yang ditahan Mataram.
Pada
tahun 1677, kesultanan Cirebon pecah menjadi tiga:
1.
Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi
Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703)
2.
Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil
Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
3.
Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul Kamil
Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713)
Setelah
perpecahan tersebut masih ada perpecahan lagi pada tahun 1807. Saat itu putra
Sultan Anom IV ingin membangun kesultanan sendiri. Keinginan itu didukung
pemerintah belanda. Akhirnya muncul kesultanan baru yang bernama kesultanan
Kacirebonan. (PDS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar