Dewi Sulastri |
Kepiawaiannya dalam mengolah vokal dan gerak
sudah tidak diragukan lagi. Wanita kelahiran Jepara 15 Maret 1966 ini, pernah
menyandang gelar sebagai Pemeran Terbaik Wanita Wayang Orang Se-Indonesia
selama tiga kali berturut-turut, mulai dari tahun 1988, 1990, dan 1992. Tidak
hanya itu, ia juga pernah meraih prestasi sebagai Sutradara Terbaik pada tahun 1989.
Pencapaian-pencapaian
yang telah diraih tentu tidak terjadi begitu saja. Dewi Sulastri mengawali langkahnya
sebagai sinden sejak kelas 5 SD. Lulus dari SMP Perkebunan Balong Jepara, ia
melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia di Solo,
mengambil jurusan tari. Dalam sekolah inilah untuk pertama kalinya Dewi
Sulastri belajar mengenai tari.
“Saya memilih jurusan tari itu atas saran dari guru
saya di SMKI. Pertimbangannya, penari handal yang juga piawai mengolah vokal
memiliki nilai plus tersendiri”,
ungkap Dewi Sulastri kepada Madubranta.
Dewi Sulastri di berbagai media |
Berkat keinginannya yang kuat untuk mempelajari tari, pada
tahun 1986 ia berhasil menyelesaikan studinya di SMKI Solo dan melanjutkan
pendidikan di Institut Seni Indonesia jurusan komposisi tari. Menginjak tahun
ketiga, Dewi Sulastri dipercaya untuk menjadi salah satu pemeran dalam festival
wayang wong. Dari situlah ia mulai mengasah kemampuannya di bidang seni drama.
Darah
seni yang mengalir dalam diri Dewi Sulastri dan Suryandara, suaminya, juga
diturunkan kepada empat anaknya. Suryaputra, Bagaskara, Bathara, dan Bathari,
kini juga bergelut dalam bidang seni musik dan seni tari.
Dewi
Sulastri gemar mengajarkan seni kepada anak-anak. Baginya, mengajar dengan hati
akan menghasilkan sesuatu yang lebih berharga. Kegemarannya tersebut mendorong
Dewi Sulastri untuk membuka sebuah sanggar kesenian. Pada tahun 1993, Dewi
Sulastri membuka sanggar Swargaloka di Jogja dengan murid mencapai 300 orang. Empat
tahun kemudian, ia terpaksa memindahkan sanggar Swargaloka ke Jakarta. Saat ini
berada tepat di depan anjungan Nusa Tenggara Timur, Taman Mini Indonesia Indah.
Tahun
2008, Dewi Sulastri mencetuskan konsep baru wayang orang dengan bahasa
Indonesia dan gerak tari yang lebih dinamis. Harapannya, agar generasi saat ini
mengenal dan lebih menyukai wayang orang. Banyak pihak mendukung gagasan yang
ditawarkan oleh Dewi, tetapi tidak sedikit juga pihak yang tidak setuju. Di
tengah reaksi-reaksi pro dan kontra tersebut, konsep wayang orang yang
dicetuskannya tetap berajalan. “Buat saya, kesenian itu tidak hanya untuk
dijaga, tetapi juga dikembangkan sesuai dengan perkembangan jaman. Dengan
begitu kesenian wayang orang bisa tetap lestari di Indonesia.” (RN)