Sistem pranata mangsa |
Seperti
kebudayan-kebudayaan lain yang ada di dunia. Nenek moyang kita sudah lama
menaruh perhatian pada benda-benda langit dan fenomena-fenomena alam. Pada
masyarakat Jawa dikenal dengan istilah Pranata Mangsa, atau peramalan
musim yang umumnya berhubungan dengan tata letak bintang di langit. Pranata mangsa berasal dari bahasa Jawa. Pranata
artinya tatacara atau prosedur, sedangkan mangsa berarti musim. Pada
masa Kerajaan Mataram, Sultan Agung berhasil menggabungkan metode perhitungan
kalender Islam dan Jawa (Hindu). Kalender Jawa tersebut berisikan Pawukon
dan pranata Mangsa. Pawukon berisi
tentang perwatakan manusia, hari-hari yang baik untuk berdagang, memulai usaha,
mantu (hari pernikahan), boyongan (pindah rumah), waktu melakukan
tirakat juga hari-hari pantangan atau walang sanger, taliwangke, samparwangke,
sarik agung, dhendhan kukudan, dan lain sebagainya. Pranata mangsa
dipergunakan untuk menentukan waktu memulai tandur (menanam padi), menuai padi,
dan menanam palawija.
Menurut Daldjoeni dalam bukunya
“Penanggalan Pertanian Jawa Pranata Mangsa”, beliau menyebutkan bahwa Pranata
Mangsa adalah sebuah sistem peramalan dan hasil pemikiran yang canggih dan
brilian. Bahkan melebihi sistem yang dibuat oleh bangsa Mesir Kuno, Cina, Maya
dan Burma, serta sistem Farming Almanac Amerika, Pranata Mangsa sudah
lebih maju dan kompleks. Pranata
Mangsa didasarkan pada pengalaman yang
didapat dan diamati selama ribuan tahun. Mereka menghafalkan pola musim, iklim
dan fenomena alam yang datang silih berganti. Dan salah satu tujuan dari Pranata
Mangsa adalah mengurangi resiko dan meminimalisir biaya produksi.
Peramalan
cuaca tradisional hanya bersifat lokal, seperti Pranata Mangsa hanya
berlaku untuk masyarakat Jawa. Sedangkan untuk masyarakat atau suku bangsa lain
mempunyai cara dan sistem sendiri untuk meramalkan cuaca. Seperti Palontara di
Sulawesi, Kala di Sunda, Porhalan di Batak dan Wariga di Bali.
Namun
sekarang Pranata Mangsa, sudah jarang digunakan masyarakat Jawa. Bahkan
mulai dilupakan dan ditinggalkan. Karena dianggap sudah tidak sesuai dengan
iklim yang sekarang tidak menentu akibat pemanasan global, efek rumah kaca dan
degradasi lingkungan.
Seiring
dengan kemajuan IPTEK, ramalan cuaca berdasarkan ahli meteorologi pun dapat
digunakan. Namun, karena ramalan cuaca modern masih bersifat global terhadap
cuaca di daerah subtropis. Sementara ramalan cuaca tradisional lebih spesifik
terhadap bidang pertanian, perikanan, banjir atau kekeringan. Sebagai generasi
muda yang mempunyai kewajiban menjaga dan melestarikan kebudayaan, harus
mempunyai inovasi-inovasi agar hasil kebudayaan tidak dilupakan. Salah satunya
adalah dengan memadukan ramalan cuaca modern dengan ramalan cuaca tradisional (Pranata
Mangsa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar