Social Icons

Pages

Sabtu, 05 Januari 2013

Pranata Mangsa : Warisan Pengetahuan Masa Lalu


Sebelum gagasan untuk membuat Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika muncul, sebelum institusi-institusi di bidang pertanian dibangun, dan sebelum biro konsultasi pernikahan serta biro konsultasi bisnis didirikan, masyarakat Jawa sudah lebih dulu paham akan perhitungan musim dan waktu yang tepat untuk melakukan aktivitas tertentu.

Teknologi mutakhir terkait tata cara penghitungan musim yang dimiliki oleh masyarakat Jawa dikenal dengan Pranata Mangsa. Pranata mangsa berasal dari bahasa Jawa. Pranata artinya tatacara atau prosedur, sedangkan mangsa berarti musim. Pada masa Kerajaan Mataram, Sultan Agung berhasil menggabungkan metode perhitungan kalender Islam dan Jawa (Hindu). Kalender Jawa tersebut berisikan Pawukon dan pranata Mangsa. Pawukon berisi tentang perwatakan manusia, hari-hari yang baik untuk berdagang, memulai usaha, mantu (hari pernikahan), boyongan (pindah rumah), waktu melakukan tirakat juga hari-hari pantangan atau walang sanger, taliwangke, samparwangke, sarik agung, dhendhan kukudan, dan lain sebagainya. Pranata mangsa dipergunakan untuk menentukan waktu memulai tandur (menanam padi), menuai padi, dan menanam palawija.

Sistem ramalan memang telah dikenal oleh sejumlah negara di belahan dunia. Akan tetapi, Pranata Mangsa yang dimiliki orang Jawa kerap dipandang lebih jenius dan mendalam. Dalam buku “Penanggalan Pertanian Jawa Pranata Mangsa”, N. Daldjoeni menyebutkan bahwa Pranata Mangsa adalah sebuah sistem peramalan sebagai hasil pemikiran yang canggih dan brilian. Bahkan melebihi sistem yang dibuat oleh bangsa Burma, Cina, Maya, dan Mesir Kuno, serta sistem Farming Almanac Amerika, Pranata Mangsa sudah lebih maju dan kompleks.

Pranata Mangsa didasarkan pada pengalaman yang didapat dan diamati selama ribuan tahun. Mereka menghafalkan pola musim, iklim dan fenomena alam yang datang silih berganti. Dan salah satu tujuan dari Pranata Mangsa adalah mengurangi resiko dan meminimalisir biaya produksi. Peramalan cuaca tradisional hanya bersifat lokal, seperti Pranata Mangsa hanya berlaku untuk masyarakat Jawa. Sedangkan untuk masyarakat atau suku bangsa lain mempunyai cara dan sistem sendiri untuk meramalkan cuaca. Seperti Palontara di Sulawesi, Kala di Sunda, Porhalan di Batak dan Wariga di Bali. 

Sekarang Pranata Mangsa, sudah jarang digunakan masyarakat Jawa. Bahkan mulai dilupakan dan ditinggalkan. Karena dianggap sudah tidak sesuai dengan iklim yang sekarang tidak menentu akibat pemanasan global, efek rumah kaca dan degradasi lingkungan. Seiring dengan kemajuan IPTEK, ramalan cuaca berdasarkan ahli meteorologi pun dapat digunakan. Namun, karena ramalan cuaca modern masih bersifat global terhadap cuaca di daerah subtropis. Sementara ramalan cuaca tradisional lebih spesifik terhadap bidang pertanian, perikanan, banjir atau kekeringan. Sebagai generasi muda yang mempunyai kewajiban menjaga dan melestarikan kebudayaan, harus mempunyai inovasi-inovasi agar hasil kebudayaan tidak dilupakan. Salah satunya adalah dengan memadukan ramalan cuaca modern dengan ramalan cuaca tradisional (Pranata Mangsa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar