Konsep meru yang juga terdapat pada atap pura |
Sejak zaman prasejarah orang jawa telah mengalami kepercayaan animisme, yaitu kepercayaan terhadap roh-roh yang terdapat pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, dan hewan,atau juga manusia sendiri. (Koentjaraningrat, 1954 :103 ). Penyebaran agama Hindu Budha di tanah Jawa diduga melalui jalan damai sehinggasetelah masuknya agama Hindu-Budha, kepercayaan animisme tersebut mengalami akulturasi kebudayaan Hindu dan Budha tanpa bisa dihilangkan begitu saja. Penyebaran agama melalui jalan damai ternyata juga terjadi pada masa penyebaran agama islam. Para wali menyebarkan islam melalui jalan damai dengan tidak menghilangkan unsur-unsur budaya masa Hindu-Budha yang tidak bertentangan dengan ajaran islam.
Pengaruh budaya hindu masih sangat melekat dalam arsitektur Masjid Agung Demak. Salah satu bukti yang paling terlihat adalah pola atap tumpang tiga. Pola atap tumpang tiga merupakan bentuk dari meru, atau atap pura tempat ibadah agama hindu. Meru sendiri merupakan perlambangan gunung suci dalam kosmologi Hindu dan kosmologi Budha. Meru adalah gunung tempat bersemayamnya para dewa. Dalam tradisi Hindu digambarkan bahwa Gunung Meru memiliki ketinggian 84.000 Yojana (sekitar 1,082 juta kilometer) dimana matahari dan planet mengelilinginya. Konsep Meru sendiri sangat disucikan oleh umat Hindu maupun Budha. Konsep Meru sudah dipergunakan dalam tradisi jawa semenjak pengaruh Hindu masuk.
Bukti lain kesucian konsep Meru adalah nama dari Gunung Semeru di Jawa Timur. Kata Semeru berasal dari kata Sumeru yang berarti ‘Meru agung’. Gunung semeru merupakan perwujudan konsep meru dalam kosmologi Hindu dan Budha yang berkembang di tanah Jawa.
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa yang ditulis pada kitab kuna Tantu Pagelaran yang berasal dari abad ke-15, pada dahulu kala Pulau Jawa mengambang di lautan luas, terombang-ambing dan senantiasa berguncang. Para Dewa memutuskan untuk menyetabilkan Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Meru ke atas Pulau Jawa.
Selain itu, bentuk pemujaan (palinggih) pun mengerucut ke atas, menyerupai gunung, entah berupa candi seperti di Jawa, entah berwujud padmasana, atau pun meru layaknya di Bali.Atau bahkan berupa lingga, batu berdiri. Dari pemahaman inilah lantas gunung disebut pula sebagai lingga acala, lingga yang tidak bergerak sekaligus juga berarti lingga yang tidak diciptakan manusia. Dalam bahasa Jawa Kuna, acala memang juga diartikan gunung, karang.Hindu memang mengajarkan manusia untuk senantiasa berorientasi atau menjadikan yang Abadi, tidak bergerak, itu sebagai tujuan.Karena itu, selain pada gunung, Hindu juga mengagungkan matahari sebagai mahasumber energi hidup yang abadi.
Berdasarkan beberapa fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep Meru sangat disakralkan dan melekat dalam tradisi jawa terutama pada masa peralihat Hindu-Budha ke Islam. Terkait dengan konsep Meru pada Masjid Agung Demak, para wali menyadari tentang pentingnya rasa toleransi dalam penyebaran islam. Selama tidak bertentangan dengan akidah, konsep-konsep semacam itu justru menjadi vital sebagai cara memperluas penyebaran Islam di tanah Jawa.
Oleh karena itu, para Wali Sanga mencoba menggabungkan konsep Meru dengan konsep Islam. Meru dalam pura biasanya sebanyak 11 tingkatan. Berbeda dengan atap Masjid Agung Demak, masjid ini dibuat dengan 3 tingkat meru yang dalam maknanya menggambarkan tingkat ketakwaan, yakni iman, islam, dan ihsan.
Selain Hindu, arsitektur Masjid Agung Demak juga dipengaruhi unsur India. Pengaruh India dalam hal ini yang dibawa oleh orang Gujarat, jelas Nampak adanya hubungan perdagangan yang dekat antara Masyarakat pesisir Jawa seperti di Demak dengan para pedagang Gujarat di India. Keterkaitan tersebut ditunjukan dari bahan baku Batu Nisan yang terdapat di Kompleks Masjid Agung Demak.
Bahan baku batu nisan Raden Patah misalnya, menggunakan Marmer putih. Marmer ini jelas bukan berasal dari Indonesia, tetapi berkemungkinan kuat berasal dari India. Penggunaan marmer putih sebagai bahan baku batu nisan sebenarnya juga telah digunakan oleh muslim India. Taj Mahal merupakan karya agung yang dibangun pada tahun 1633.Taj Mahal adalah makam dari Mumtz Mahal istri dari Shah Zehan seorang raja pertama dari Dinasti Mogul di India. Makam ini juga menggunakan marmer putih tidak hanya sebagai batu nisan, tapi juga ornamen-ornamen, dinding serta lantai. Artinya, ada hubungan budaya antara India melalui para pedagang Gujarat, dan Demak melalui bukti batu nisan Raden Patah dan raja penerusnya di kompleks Masjid Agung Demak
Pengaruh Cina juga terlihat dari bangunan Masjid Agung Demak. Bukti tersebut yakni adanya piring-piring cina yang terpajang di bagian pintu masuk makam di kompleks Masjid Agung Demak. Kemungkinannya piring-piring tersebut sudah ada sejak masa Raden Patah. Raden Patah sendiri merupakan anak dari Brawijaya I, raja Majapahit melalui ibunya, seorang selir berketurunan Cina. Berita ini dijelaskan dari informasi naskah Babad Tanah Jawi dan informasi dari kronik Cina dari Kuil Sam Pho Kong. (RR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar