Orang yang memprakasai untuk membuat candi disebut
Yajamana. Yaamana harus menghubungi Maha Brahmana dengan para pekerjanya yang
disebut Silpin. Lalu mereka harus mencari tempat yang dirasa pas untuk
membangun monumen suci ini, dan biasanya tempat yang dekat dengan air atau
lebih bagus lagi jika lokasinya di dekat pertemuan dua sungai (tempuran).
Selain itu ada beberapa lahan terlarang untuk lokasi candi, misalnya tanah
bekas pembakaran mayat, tanah berpasir, tanah berbatu, dan tanah rawa. Setelah
kira-kita ketemu, lahan masih harus menjalani beberapa tahap pemeriksaan.
Tahap pertama, pemeriksaan tanah yang disebut juga Bhupariksa. Tahap ini bisa
melalui dua cara, cara magis atau dengan cara biasa. Jika melalui cara biasa,
yang pertama di periksa adalah kepadatan tanahnya. Ada berbagai macam cara.
Cara yang pertama, tanah digali lalu diisi air dan dibiarkan selama 24 jam.
Esok harinya diperiksa kembali, jika air terserap habis atau hanya tersisa
sedikit artinya tanah tersebut tidak baik karena terlalu gembur. Jika air
berkurangn hanya sedikit, itu berartintanah itu juga tidak baik. Tanah yang
paling baik adalah tanah yang airnya tersisa setengah. Selain lewat cara ini,
cara lain untuk memeriksa kepadatan tanah adalah dengan menggali lalu diurug
lagi. Kalo setelah diurug tanahnya terlalu sedikit maka artinya tanah itu tidak
bagus, begitu juga jika tanahnya berlebihan, jadi harus sama rata.
Lalu memasuki tahap kedua. Di tahap ini yang di uji adalah kandungan gas tanah.
Caranya? Pada malam hari clupak (pelita dari tanah liat) diletakkan di atas
tanah yang dimaksud. Jika pada saat api dinyalakan langsung padam, artinya
tanah tersebut tidak baik karena banyak mengandung gas beracun. Namun jika api
menyala tapi mengarah ke selatan juga tidak baik karena selatan adalah arah
dewa kematian (Dewa Yama). Yang paling bagus adalah jika api tersebut menyala
tegak lurus.
Tahap yang ketiga menguji kesuburan tanah. Tanah diairi, dicangkul, dibajak,
lalu ditaburi benih. Seandainya benih itu berhasil tumbuh dalam waktu 1-2 hari
maka tanah ini adalah tanah brahmana (kualitas nomor wahid). Jika benih
berhasil tumbuh dalam waktu 3-4 hari disebut tanah ksatria. Namun jika tumbuh
dalam waktu 5-6 hari disebut tanah waisya. Dan yang terakhir, jika benih
tersebut tumbuh lebih dari 7 hari maka disebut tanah sudra yang lebih baik
tidak perlu dipakai. Tes ini dilanjutkan dengan menguji warna dan bau tanah.
Tanah Brahmana biasanya berwarna seperti mutiara dan berbau harum sementara
tanah ksatria berwarna merah dan berbau darah. Tanah waisya berwarna kuning
keemasan, dan tanah sudra berwarna gelap atau kelabu.
Setelah bhupariksa selesai dilakukan, saatnya membangun candi. Lahan yang
dipilih dibatasi dengan benang putih berbentuk persegi dengan garis diagonal
yang juga ditandai dengan benang. Sehingga dapat titik tengah yang disebut
Brahmasthana, yang berarti ‘tempat bersemayamnya Dewa Brahma.’ setelah itu
dibuatlah kotak-kotak atau grid. Sistem pengkotakan ini disebut Vastupurusa
Mandala, dimana masing-masing kotak terdiri dari satu nama dewa. Lalu, titik
tengah tempat bersemayamnya Dewa Brahma tadi digali 1x1 meter dan didasarnya
diletakkan peripih (Garbhapatra) yang berisi benda-benda perlambang panca maha
bhuta (lima unsur alam), yaitu akasa, tanah, air, api, dan angin. Simbol-simbol
yang digunakan dapat berupa biji, benang, kertas emas (biasanya bertuliskan
mantra atau nama dewa), cermin perunggu, dan tulang hewan Untuk unsur api
biasanya diwakilkan oleh abu, karena itu ahli-ahli Belanda zaman dulu
mengidentikkan candi dengan makam. Pendapat ini ditentang oleh arkeolog
Indonesia yang bernama R. Soekmono.
Diatas titik tengah inilah biasanya dibangun candi induk, tapi ada banyak candi
di Indonesia yang tidak menerapkan aturan ini. Tapi ada teknik penyusunan batu
maupun bata yang khas dari candi. Untuk candi berbahan bata tekniknya lebih
sederhana. Bata digosokkan satu sama lain sampai tercipta bubuk yang dapat
berperan seperti semen lalu diperciki dengan air.
Candi yang menggunakan batu lebih rumit karena batu-batu tersebut
disambung-sambung satu sama lain. Ada banyak teknik sambungan batu yang kita
kenal, salah satunya teknik sambungan batu langsung. Caranya? Satu batu di
salah satu permukaannya dibuat sebuah tonjolan, dan di batu lain di buat
semacam ‘lembah’ yang cocok dengan batu satunya lagi. Ada juga sambungan batu
pengunci. Di teknik ini, batu yang akan dipasang tidak dikaitkan satu sama lain
seperti pada teknik yang pertama, melainkan lewat bantuan batu pengunci di
tengah-tengah kedua batu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar