|
Penyajian Makanan di Warteg Antara/Prasetyo Utomo |
Dibalik kesederhanaan bilik Warteg dan kenikmatan sajian warteg, ternyata ada hal-hal luar biasa dibaliknya. Seperti tata kelola sebuah warteg yang ternyata dikelola oleh warga Tegal yang masih terikat hubungan darah. Umumnya, Warteg dikelola oleh kelompok keluarga yang bergantian mengelola. Bila tak kebagian mengelola, mereka pulang ke kampung mengelola lahan pertanian yang ada. Berbeda dengan Rumah Makan Padang yang juga umumnya dikelola oleh tenaga kerja laki-laki. pemanfaatan tenaga kerja laki-laki pada Warteg disebabkan oleh alasan praktis, tidak memperhitungkan sistem nilai matriarkhi di Minang yang kabarnya mendudukkan perempuan dalam posisi kultural yang tinggi.
Selain Desa Sidokaton, Desa Sidapurna dan Krandon di Kabupaten Tegal juga dikenal sebagai kampung pewarteg. Mereka turun-temurun mewariskan sistem pengelolaan warteg sebagai mata pencarian yang tak monopolistik. Satu warteg bisa menghidupi 2-3 keluarga yang masih terhubung persaudaraan.
RM Padang mengasosiasikan diri dalam Ikatan Warung Makan Padang Indonesia (Iwapin) yang membawahi tak kurang 20.000 warung se-Jakarta. Sedangkan pengusaha warteg bergabung dalam Koperas Warung Tegal (kowarteg). Berbeda dengan RM Padang yang telah masuk mall, dan menggurita dalam franchise yang tersebar pada banyak kota. Namun warteg masih tak beranjak dari tempatnya di sela-sela sesaknya kota.
Budayawan yang juga dalang kondang di Tegal, Ki Enthus Susmono, mengakui, paseduluran pewarteg hingga kini masih kuat dan dapat dirasakan. Nilai itu diwariskan turun-temurun. Persaudaraan itu terbangun dari etos kerja mereka selama ini saat bekerja di warteg. (PDS)
|
Your Article Is This Very Helpful Thanks For Sharing...:)
BalasHapus